[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Ekonom senior Faisal Basri mengkritik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait kasus yang membelit PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero).
“Sudah sepatutnya OJK bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa Jiwasraya dan Asabri. Bukan kali ini saja kejadian tragis menimpa perusahaan asuransi,” ujar Faisal.
Dalam unggahan berjudul “Skandal Jiwasraya dan Asabri: Negara Abai Melindungi Rakyat”, Faisal mengingatkan kasus Jiwasraya dan Asabri sudah lama muncul.
Sebagai lembaga yang diatur undang-undang untuk memberikan izin operasi perusahaan asuransi, OJK yang mengizinkan berbagai produk asuransi.
“OJK juga yang diberikan tugas mengawasi perusahaan asuransi. OJK membuat aturan. Jika terjadi pelanggaran, OJK-lah yang menyidik, menuntut, dan mengenakan sanksi,” ujarnya.
Terlebih, perusahaan asuransi wajib menyerahkan laporan berkala setidaknya empat kali setahun kepada OJK. Bahkan, sambung Faisal, beberapa perusahaan asuransi mengatakan hampir setiap bulan menyerahkan laporan.
Menurut Faisal, persoalan likuiditas Asabri masih tertolong karena masih memperoleh dana iuran dari peserta.
Sementara, kasus Jiwasraya semakin membesar karena praktis premi jatuh tempo terus bertambah. Di saat yang sama, lanjutnya, dana dari premi baru praktis terhenti karena masyarakat jera berinvestasi di produk-produk investasi Jiwasraya.
“Wajar jika banyak kalangan mulai mempertanyakan keberadaan OJK. Bukan saja kewenangannya terhadap perusahaan asuransi, melainkan juga terhadap perbankan, lembaga keuangan bukan bank, pasar modal, dan fintek,” tutur Faisal.
Faisal lantas mempertanyakan siapa yang mengawasi OJK dan kepala siapa OJK harus melapor. Karenanya, Faisal menilai penguatan institusi darurat untuk dilakukan.
“Ini persoalan genting karena menyangkut organ perekonomian yang vital, karena lembaga keuangan merupakan jantung perekonomian. Jika terjadi serangan jantung, seluruh organ tubuh perekonomian bakal terdampak,” tuturnya.
Dalam tulisan yang sama, Faisal juga mempertanyakan alasan Kementerian Keuangan belum merealisasikan amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dalam hal penyelenggaraan program penjaminan polis.
Sesuai Pasal 54 (1) UU 40/2014, perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis.
Lalu, Pasal 4 UU 40/2014 juga mengatur mengenai undang-undang sebagai payung hukum program penjaminan polis dibentuk paling lama tiga tahun sejak beleid tersebut diundangkan atau pada 2017.
Namun, hingga kini, program penjaminan polis belum berjalan karena undang-undang yang menjadi payung hukum belum terbit.
“Kementerian Keuangan pun harus menjelaskan mengapa sampai sekarang belum kunjung merealisasikan amanat Undang-undang No. 40/2014 yang seharusnya sudah hadir pada Oktober 2017. Bukankah Kementerian Keuangan sudah diingatkan oleh berbagai pihak tentang amanat undang-undang itu?,” ujarnya.
Melihat hal itu, Faisal menilai pemerintah tidak perlu menanti kehadiran omnibus law untuk memecahkan masalah yang mendera Jiwasraya dan Asabri. Sebagai catatan, wacana penyusunan omnibus law di sektor keuangan dilontarkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu sebagai imbas dari maraknya persoalan yang mendera lembaga jasa keuangan.
“Seandainya pemerintah tidak abai, para nasabah Jiwasraya pun sudah barang tentu masih menyisakan asa tinggi bahwa preminya akan dibayar dan investasinya akan kembali. Kini, mereka gundah gulana, tak ada kepastian bakal mendapatkan haknya,” ujarnya.
Sebagai informasi, masalah keuangan Jiwasraya mencuat ketika perusahaan gagal membayar klaim polis nasabah senilai Rp802 miliar pada Oktober 2018. Hal ini disebabkan karena ‘seretnya’ likuiditas perusahaan.
Seiring berjalannya waktu, kondisi keuangan perusahaan kian memburuk. Tahun lalu, perusahaan memiliki kewajiban pembayaran klaim dan bunga kepada nasabah mencapai Rp12,4 triliun.
Masalah juga muncul karena perusahaan asuransi negara itu menempatkan investasi pada saham-saham ‘gorengan’. Salah penempatan ini membuat perusahan terindikasi menelan kerugian mencapai Rp10,4 triliun.
Sedangkan masalah di Asabri juga muncul akibat salah penempatan investasi di saham-saham ‘gorengan’, meski Erick dan manajemen perusahaan mengklaim kondisi aset dan likuiditas perusahaan baik-baik saja.
Selain itu, Menteri Koordinator Bidang Polhukam Mahfud MD mengatakan Asabri juga memiliki masalah dugaan korupsi dengan nilai hampir Rp10 triliun. (cnn)
Discussion about this post