[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan akan meninjau kembali kondisi keuangan BPJS Kesehatan. Kajian dilakukan setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan uji materi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang mengatur tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
“Ini kan keputusan yang memang harus dilihat lagi implikasinya kepada BPJS ya. Kalau dia secara keuangan akan terpengaruh, ya nanti kami lihat bagaimana BPJS Kesehatan akan tetap bisa berlanjut,” ungkap Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan.
Sri Mulyani mengatakan dampak harus dilihat secara menyeluruh karena BPJS Kesehatan tetap saja merugi meski pemerintah telah menyuntikkan dana triliunan rupiah kepada mereka berkali-kali. Oleh karena itu, ia akan melihat lagi kondisi keuangan lembaga tersebut setelah MA membatalkan aturan presiden yang berisikan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
“Meskipun kami sudah tambahkan Rp15 triliun, BPJS Kesehatan masih negatif hampir sekitar Rp13 triliun. Jadi kalau sekarang ada realita (pembatalan kenaikan iuran), ya harus kami lihat. Kami nanti review lah ya,” jelas Sri Mulyani.
Diketahui, pemerintah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 mengerek iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) mulai Januari 2020. Rinciannya, iuran kepesertaan BPJS Kesehatan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I melonjak dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per peserta per bulan, kelas mandiri II naik dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu, dan kelas mandiri III naik Rp16.500 dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per bulan.
Kenaikan iuran dilakukan demi mengatasi masalah defisit keuangan yang melanda pelaksana Program Jaminan Kesehatan Nasional tersebut. Tercatat, lembaga itu tercatat defisit sebesar Rp3,3 triliun pada 2014.
Lalu, membengkak menjadi Rp5,7 triliun pada 2015, dan Rp9,7 triliun pada 2016. Defisit terus berlanjut hingga 2017 menjadi sebesar Rp13,5 triliun dan pada 2018 menjadi Rp19 triliun. Tahun lalu, defisit diperkirakan sebesar Rp32 triliun.
Kenaikan iuran tersebut kemudian digugat oleh Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI). Gugatan diajukan karena kenaikan tersebut berpotensi memberatkan masyarakat, terutama yang tergabung dalam komunitas tersebut.
Gugatan tersebut dikabulkan oleh MA. Mereka menyatakan aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangan putusannya, MA juga menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28 H jo Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4 huruf b, c, d, dan e, Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Kemudian juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 huruf b, c, d, dan e Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, serta Pasal 4 jo Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. (cnn)
Discussion about this post