[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id- Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 7 Tahun 2019 telah menginstruksikan kapal untuk memasang dan mengaktifkan Sistem Identifikasi Otomatis atau Automatic Identification System (AIS) bagi kapal-kapal yang melayari perairan Indonesia.
Kewajiban pemasangan AIS ini mulai berlaku pada 20 Agustus 2019, atau 6 bulan setelah Permenhub tersebut diteken pada 19 Februari silam oleh Menhub Budi Karya Sumadi. Aturan ini ditujukan kepada kapal-kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan konvensi Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974 yang berlayar di wilayah perairan nasional. Kelompok ini digolongkan ke dalam AIS Kelas A.
Beleid itu juga berlaku untuk kapal-kapal di luar kategori di atas seperti kapal penumpang dan kapal barang non konvensi berukuran paling rendah 35 gross tonnage (GT) serta kapal yang berlayar antarlintas negara atau yang melakukan barter trade atau kegiatan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
Grup ini masuk kategori AIS Kelas B. Selain itu, kapal penangkap ikan yang berukuran paling rendah 60 GT juga diwajibkan memasang dan mengaktifkan perangkat yang sama, tujuannya untuk meningkatkan keselamatan pelayaran.
Sosialisasi juga dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub (Ditjen Hubla) di beberapa daerah untuk mendorong kesiapan para operator kapal dalam menjalankan kewajiban ini.
Lalu, riak pun mulai muncul.
Ada pihak yang berpendirian bahwa daripada mewajibkan pemasangan dan pengaktifan AIS, ada baiknya Ditjen Hubla memperbaiki kinerjanya terlebih dahulu. Bagi mereka, alat tersebut memang penting, tetapi jauh lebih penting kompas magnetik, peta laut, GPS binocular dan lain-lain untuk bernavigasi.
Penangguhan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga ikut bersuara dengan nada yang lebih-kurang sama di media massa. Bahkan, secara resmi, melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, KKP sudah berkirim surat kepada Ditjen Hubla meminta penangguhan kebijakannya.
Langkah KKP ini membuat ‘Lurah Senaya’ alias Ketua DPR pun turun gunung. Bambang Soesatyo, Ketua DPR RI, dalam kesempatan di sejumlah media, juga meminta instansi tersebut (KKP) bekerjasama dengan Kemenhub mensosialisasikan penggunaan AIS kepada pemilik kapal perikanan.
Bambang juga mengimbau agar sosialisasi diprioritaskan pada pelabuhan perikanan samudera dan pelabuhan perikanan Nusantara yang menjadi tempat sandar kapal-kapal ikan berukuran besar, di atas 60 GT.
Bukan tidak boleh urun rembug, masuknya Ketua DPR ke dalam wacana penerapan AIS ini mengejutkan, jika tidak hendak dibilang aneh. Soalnya, Bamsoet, panggilan akrabnya, hampir tidak pernah terdengar mengomentari isu-isu kemaritiman sebelumnya.
Ada banyak permasalahan kemaritiman yang lebih berat dibanding AIS, semisal pencemaran lingkungan maritim oleh anjungan minyak Pertamina yang bocor dan mencemari perairan Karawang, Jawa Barat, dan kini sudah masuk hingga perairan Kepulauan Seribu, namun dia tidak berkomentar. Semoga tidak ada “udang di balik batu” dengan perhatiannya terhadap isu AIS.
Komersialisasi Regulasi
Menghangatnya isu AIS sepertinya berangkat dari kekhawatiran adanya upaya komersialisasi regulasi di balik kebijakan yang mewajibkan pemasangan alat ini di atas kapal.
Tentu saja pihak Ditjen Hubla menepis anggapan ini.
Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Agus H. Purnomo, di sejumlah media menegaskan bahwa dia menjamin tidak ada kongkalikong antara Kemenhub dan penyedia AIS melalui penerbitan PM Nomor 7/2019 itu.
Bisa jadi memang tidak ada keterkaitan antara kedua entitas. Tetapi, anggapan adanya komersialisasi regulasi juga tidak seluruhnya salah.
Komersialisasi regulasi keselamatan (safety) pelayaran merupakan isu yang kerap membelit regulator kemaritiman. Yang dimaksud regulator kemaritiman itu tentu saja adalah organisasi internasional yang mengurus pelayaran dunia, yaitu International Maritime Organization atau IMO.
Lembaga yang bermarkas di London, Inggris inilah yang mengeluarkan semua regulasi keselamatan pelayaran, termasuk pemasangan AIS di atas kapal. Negara-negara anggota hanya menjalankan regulasi yang dibuat oleh organisasi di bawah PBB tersebut.
Karena tingkat kemajuan bisnis maritim/pelayaran dan aspek terkait lainnya pada masing-masing negara anggota berbeda-beda, regulasi IMO akhirnya bersifat minimalis. Artinya, standar yang ditetapkan dipilih serendah mungkin dengan harapan bisa diterapkan dengan mudah. Kendati demikian, tetap saja ada negara anggota yang tidak bisa menjalankan regulasi IMO dan meminta penangguhan.
Contohnya, seperti diberitakan oleh Reuters belum lama berselang, Indonesia tidak akan memberlakukan pembatasan sulfur (sulphur cap) 0,5 persen pada 1 Januari 2020 karena cadangan BBM untuk kapal bersulfur tinggi masih banyak.
Maka, diputuskanlah untuk menghabiskan cadangan tersebut terlebih dahulu. Menurut Kemenhub, ada kepentingan nasional yang harus diutamakan saat pemberlakuan ketentuan pembatasan itu. Namun, masih kata Kemenhub, Indonesia dipastikan akan mengikuti aturan sulphur cap. Bingung bukan?
Mari kita kembali ke komersialisasi regulasi keselamatan pelayaran. Pertanyaannya, bagaimanakah hubungan itu berjalan?
Sebagai bisnis yang penuh dengan teknologi, pelayaran (kapal) tentu makin canggih dari waktu ke waktu. Alat dan teknologi yang tidak ada pada kapal generasi awal atau masih dalam tahap elementer sekarang menjadi yang bagian yang tidak terpisahkan dan performanya sudah amat state of the art alias canggih. Semuanya demi navigasi yang selamat.
Untuk mencapai kondisi navigasi yang selamat (dalam slogan IMO dikenal dengan safe, secure and efficient shipping on clean oceans) organisasi ini selalu memutakhirkan konvensi SOLAS 1974 dengan berbagai amandemen baik dalam aspek prosedur/protokol/manajemen di atas kapal atau yang terkait dengan kapal.
Tidak jarang amandemen ini disertai dengan pemasangan alat/teknologi tertentu. Pemberlakuan Ballast Water Management, misalnya menjadi pintu masuk bagi berbagai teknologi filterisasi dan purifikasi air ballast. Pun kebijakan sulphur cap.
Beleid itu diikuti dengan bermacam-macam produk scrubber yang bisa dipilih oleh pemilik kapal untuk mengurangi emisi cerobong kapal mereka.
Kalau tidak mampu menginstalasi scrubber, shipowner atau pemilik kapal bisa menggunakan BBM rendah sulfur yang sudah dikembangkan oleh berbagai firma energi/perminyakan. Orang tidak akan menemukan satu merek dagang teknologi apa pun dalam regulasi IMO.
‘Permainannya’ tidak sekasar itu. Lembaga internasional ini hanya menetapkan spesifikasi teknis, tak lebih. Hanya saja spesifikasi itu sudah disesuaikan dengan teknologi yang ada di pasar.
Nah, bandingkan dengan penerapan AIS di Indonesia, Kemenhub mewajibkan pengujian AIS Kelas B dilakukan oleh Balai Teknologi Keselamatan Pelayaran (BTKP), badan di bawah Ditjen Hubla, sebelum dipasang di atas kapal.
Namun tidak diketahui apakah pengujian ini berbayar atau tidak. Yang juga tidak jelas, apakah lembaga lain dibolehkan melakukan pengujian yang sama. Agak sedikit kasar ‘permainan’. (cnbcindonesia)
Discussion about this post