[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Bank BUMN berada di garda terdepan dalam perjuangan pemerintah memerangi ketimpangan aset finansial di Indonesia. Terobosan teknologi finansial (tekfin) dan layanan digital menjadi senjata yang mengubah keadaan (game changer) dalam perang ini ke depannya.
Credit Suisse dalam laporannya Global Wealth Report 2018 (Oktober 2018) menyebutkan bahwa 10% orang terkaya di Indonesia menguasai 75,3% total kekayaan warga. Sebanyak 170 juta jiwa penduduk dewasa memiliki kekayaan US$ 1.518 miliar atau setara Rp 21.303 triliun (Rp 14.000/dolar Amerika Serikat/AS).
Di sisi lain, 89.000 orang terkaya Indonesia memiliki kekayaan di atas US$ 1 juta (Rp 14 miliar). Di seluruh Asia, masih menurut Credit Suisse, Indonesia masuk tiga besar ketimpangan kekayaan alias urutan ketiga. Bandingkan dengan Jepang yang 1% orang terkaya di sana hanya menguasai 18% total kekayaan penduduk dewasa.
Setali tiga uang, riset ASEAN (Association of South East Asian Nation) bertajuk ASEAN Key Figures 2018 menyebutkan ketimpangan pendapatan di Indonesia terkategori ‘rata-rata’ sepanjang 2005-2016. Ironisnya, kita kalah dari Kamboja dan Laos meski lebih dahulu merdeka. Kamboja baru merdeka pada 9 November 1953 dan Laos pada 22 Oktober 1953.
|
Namun, fungsi intermediasi perbankan (yang antara lain berfungsi mengikis kesenjangan pendapatan) terasa belum optimal. Data OJK pada 2016 menyebutkan penyaluran kredit hanya tumbuh 7,9% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp 4.413,4 triliun. Padahal, tahun sebelumnya mencapai 10,4%.
Kondisi mulai membaik sejak Mei 2018. Pertumbuhan kredit bank kembali menyentuh dua digit, yakni 10,5%. Namun, sayangnya hal itu tidak berlangsung lama karena per Juni 2019 laju kredit tertahan menjadi 9,9% yoy.
Pada kuartal selanjutnya, perlambatan terus berlanjut menjadi 7,89% (per September 2019). Pertumbuhan kredit 2020 diperkirakan tidak jauh berbeda dari kondisi per kuartal III/2019. Bahkan, beberapa bank telah mematok target jauh di bawah proyeksi OJK.
Ekonom The Indonesian Institute Nawa Thalo (2005) dalam tulisannya “Mengapa Intermediasi Perbankan Berjalan Lambat?”menyebutkan, salah satu syarat mutlak pembangunan berkelanjutan adalah percepatan fungsi intermediasi perbankan melalui optimalisasi penyaluran kredit, terutama kepada usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Masalahnya, seperti pernah disampaikan Kantor Bank Indonesia (BI) Yogyakarta tahun 2010, ada empat kelompok UMKM terkait potensi pembiayaan mereka. Dari situ, hanya ada satu yang dilirik perbankan secara komersial yakni UMKM yang potensial, feasible, dan bankable.
“Pertama, UMKM potensial tetapi tidak feasible dan tidak bankable. Kedua, UMKM potensial dan feasible tetapi tidak bankable. Ketiga, UMKM potensial dan bankable tetapi tidak feasible. Keempat, UMKM yang potensial, feasible, dan bankable,” tulis BI Yogyakarta dalam laporan ilmiah Sri Susilo dari Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya, Yogya itu.
Menurut dia, pembiayaan UMKM potensial tetapi tidak feasible dan tidak bankable semestinya tidak dibantu melalui perbankan, melainkan melalui dana bergulir dan dana bantuan sosial yang didukung program pembimbingan teknis.
Di sisi lain, UMKM potensial dan feasible tetapi tidak bankable, perlu mendapat pembiayaan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sementara itu, UMKM potensial dan bankable tetapi tidak feasible dapat dibantu melalui Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) serta Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK) dengan program subsidi bunga dan penjaminan kredit.
Opsi Solusi Berbasis TIK
Lalu bagaimana mendorong bank pelat merah aktif menjalankan fungsi intermediasi ke UMKM guna menambal ketimpangan aset nasional? Penulis menyodorkan dua opsi. Pertama, adopsi teknologi finansial (tekfin) dan Inovasi Keuangan Digital (IKD) global-merujuk Peraturan OJK (POJK) No.13/POJK.02/2018 tentang IKD-secara masif. Kedua, digitalisasi.
Caranya? Adopsi tekfin melalui sinergi dengan IKD sektor keuangan yang terdaftar di OJK. Sinergi-kolaborasi sebagai manifestasi kebermanfaatan Fintech Center memungkinkan IKD dan perbankan saling menguatkan layanannya.
Saat ini, IKD berkembang begitu pesat dengan menerapkan predictive analysis, innovative credit scoring, fraud detection and identity management, dan big data. LendUp, salah satu IKD asal San Francisco, AS, hanya perlu satu hari guna menentukan 15% calon peminjam teratas yang paling mungkin membayar pinjamannya berbasis predictive analysis.
Credit scoring juga bisa dilakukan secara digital. EyeVerify sebagai layanan keamanan biometrik asal Kansas City, AS misalnya bisa memindai retina dan pembuluh darah mata guna menentukan tingkat kejujuran emosi penggunanya.
Lalu, ada Nymi dari Toronto, Kanada, yang bisa mengotentifikasi seseorang dan mendeteksi potensi fraud dengan memerika electrocardiogram (ECG)/denyut jantung melalui teknologi eksklusif yang disebut HeartID.
Bagaimanapun, perbankan membutuhkan IKD karena keunggulan mereka dalam hal penguasaan emerging technology. Sebaliknya, IKD membutuhkan pengalaman perbankan dalam ragam layanan finansial, manajemen risiko, dan keselarasan aturan.
Terkait dengan solusi kedua, bank BUMN perlu meningkatkan layanan digital yang fokus pada UMKM, simultan dengan penerapan smart city oleh banyak pemerintah daerah (pemda). Melalui layanan digital, intermediasi perbankan ke masyarakat akan meningkat berkat pemrosesan berbasis TIK yang lebih cepat dan berjangkauan luas.
Di Indonesia, lima perbankan umum telah menuju layanan digital yakni PT Bank Central Asia Tbk dengan layanan BCA Mobile, PT Bank Danamon Tbk (D-Bank), PT Bank Permata Tbk (Permata Mobile X), PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (Jenius), dan PT Bank DBS Indonesia (Digi Bank).
Semestinya, bank BUMN menjalankan digital banking tetapi fokus menyasar intermediasi di sektor UMKM yang tak dilirik perbankan komersial dan penguatan smart city bekerja sama dengan bank pembangunan daerah (BPD) maupun bank perkreditan rakyat (BPR).
Optimalisasi BPD dan BPR bakal mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) sehingga meningkatkan kapasitas pemda melayani publik, terutama di sektor inti penyokong Indeks Pembangunan Manusia (IPM): pendidikan dan kesehatan.
Penerapan digital banking pada BPD juga akan meningkatkan penarikan pajak di daerah sehingga mengikis konsentrasi kekayaan segelintir orang akibat belum optimalnya sistem perpajakan. Dengan penerimaan pajak lebih besar, kepala daerah memiliki PAD lebih besar untuk menggenjot pembangunan dan IPM di daerah.
Digital banking di bank BUMN dan manifestasi smart city bisa menjadi jalan keluar untuk mengatasi penyebab klasik ketimpangan ekonomi: jumlah dan kualitas infrastruktur yang buruk karena anggaran minim, IPM tak merata, serta pasar tenaga kerja yang tidak merata.
Ayo bank-bank BUMN Indonesia, jadilah superhero pemberantas ketimpangan negeri ini!***
. (cnbcindonesia)
Discussion about this post