[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id- Volume penjualan properti residensial di Indonesia pada triwulan II 2019 mengalami kontraksi pertumbuhan -15,90 persen, menurut Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia. Ini adalah kontraksi terdalam sejak awal 2018.
Tingginya harga rumah dan ruwetnya perizinan dalam pengembangan lahan menjadi faktor penurunan penjualan properti residensial menurut Survei yang dirilis Bank Indonesia pada pertengahan Agustus ini. Masih menurut survei yang sama, dua faktor lainnya adalah melemahnya daya beli dan tingginya suku bunga Kredit Kepemilikan Rumah (KPR).
Mahalnya harga rumah di kota-kota besar di Indonesia sebenarnya bukan berita baru. Alih-alih semakin terjangkau dan diikuti dengan peningkatan daya beli, kondisi yang terjadi justru sebaliknya.
Harga rumah cenderung meningkat dan semakin menjadi momok saat memiliki papan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia.
Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia dilakukan terhadap sampel pengembang proyek perumahan di 18 kota di Indonesia. Adapun data yang dikumpulkan mencakup harga jual rumah, jumlah unit rumah yang dibangun dan dijual pada triwulan berjalan, serta perkiraan harga jual rumah pada triwulan berikutnya.
Di tingkat pemerintah daerah, dua faktor pertama–tingginya harga dan permasalahan birokrasi pengembangan lahan– masih bisa dibenahi. Sedangkan melemahnya daya beli dan tingginya suku bunga KPR di luar kendali pemerintah daerah. Membenahi segala macam birokrasi perizinan berarti menghemat waktu dan biaya pembangunan. Pada akhirnya, perizinan yang efisien akan mengurangi harga rumah yang harus dibayar masyarakat. Sebab, perizinan merupakan hulu pembangunan perumahan.
Ada dua hal yang harus dilakukan untuk mengurai permasalahan ini. Pertama, perizinan perolehan lahan perlu disederhanakan. Di Jakarta, misalnya, untuk memperoleh lahan yang luasnya lebih dari 5.000 meter persegi, pengembang harus mengurus Izin Lokasi.
Masalahnya, masa berlaku Izin Lokasi di Jakarta hanya berlaku selama enam bulan menurut Peraturan Gubernur Nomor 209 Tahun 2016 tentang Perizinan dan Rekomendasi Pemanfaatan Ruang. Padahal, pembebasan lahan bukan perkara mudah. Kalau dalam waktu tersebut pengembang belum berhasil membebaskan lahan, maka Izin Lokasi perlu diperpanjang, dan ini berarti keluarnya biaya lagi. Proses ini tentu bakal lebih ringan jika masa berlaku Izin Lokasi lebih panjang.
Progres pembebasan lahan yang membutuhkan waktu lama dan diikuti dengan kenaikan Nilai Jual Objek Pajak lahan, ditambah dengan masa Izin Lokasi yang wajib diperpanjang, membuat belanja modal untuk pembelian lahan yang dikeluarkan pengembang akan meningkat. Kenaikan belanja modal itu menjadi salah satu faktor penentu harga jual hunian yang mereka bangun kelak. Semakin lama proses pembebasan lahan, semakin tinggi pula harga lahannya. Kenaikan harga lahan inilah yang akhirnya ditanggung oleh masyarakat yang akan membeli rumah.
Selain itu, Izin Lokasi juga diberlakukan untuk jual-beli satu bangunan berikut lahannya yang sudah dimiliki oleh satu orang. Alasannya karena transaksi properti juga termasuk sebagai perolehan lahan. Setelah Izin Lokasi terbit, pengembang diberikan kewajiban tambahan berupa pembangunan rumah susun murah beserta fasilitasnya seluas 20 persen dari luas manfaat komersialnya saat mengurus Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang (IPPR). Ini adalah jumlah yang besar untuk biaya transaksi, yang akhirnya akan dibebankan kepada pembeli.
Kedua, perizinan pembangunan perlu disederhanakan agar tak menjadi sandungan bagi pemerintah dan pengembang. Di Jakarta, model pembangunan hunian mulai bergeser menjadi hunian vertikal seperti apartemen atau rumah susun, yang luas lahannya seringkali lebih dari 5.000 meter persegi. Sebelum bangunan dapat digunakan atau ditempati, properti tersebut harus mengantongi Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
Masalah muncul saat pembangunan dan penyerahan kewajiban berupa fasilitas sosial atau fasilitas umum menjadi syarat penerbitan SLF. Padahal, berdasarkan praktik di lapangan, penyerahan kewajiban tak semudah membalikkan telapak tangan. Pada tiap kewajiban, pengembang bertugas membangun fasilitas sosial atau fasilitas umum. Sedangkan kesiapan lahannya diurus pemerintah daerah.
Kondisinya kian rumit saat lahan yang ditunjuk sebagai lokasi pembangunan kewajiban masih dikuasai pihak lain atau ada aset pihak lain yang harus dipindahkan dari lahan itu. Di Jakarta, pemerintah daerah belum memiliki mekanisme penyelesaian kasus-kasus tersebut. Akibatnya, SLF tak kunjung terbit, gedung tak bisa beroperasi secara legal, dan pengembang belum dapat menerbitkan Akta Jual Beli untuk pembeli.Proses ini belum termasuk pengurusan IMB yang praktiknya membutuhkan 2-3 tahun.
Di sisi pemerintah, tak membenahi perizinan menciptakan sandungan berupa piutang kewajiban yang membebani laporan keuangan pemerintah daerah. Sedangkan di sisi pengembang, mereka masih tersandera untuk melunasi utang kewajiban. Setali tiga uang.
Masalah perumahan di Indonesia telanjur pelik dan sudah bukan saatnya menunjuk sumber kesalahan. Penyediaan perumahan yang layak dan terjangkau menjadi salah satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan secara bersama-sama oleh pemerintah dan pihak swasta. Inovasi pada perizinan merupakan keniscayaan.
Pemangkasan proses perizinan, pembenahan prosedur, serta revisi regulasi diperlukan untuk meningkatkan efisiensi yang berujung pada peningkatan daya tarik investasi dan semakin terjangkaunya harga hunian. Dalam konteks pertumbuhan hunian, kebutuhan rumah yang terus meningkat tiap tahun, tapi tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah hunian yang dibangun bakal memperbesar selisihnya (backlog) di masa mendatang.
. (cnbcindonesia)
Discussion about this post