[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id- Pesta pemilu telah berakhir. Artinya Presiden terpilih, Joko Widodo (Jokowi) siap mewujudkan rencana yang belum terwujud pada masa kepemimpinan 2014-2019. Satu misi yang belum terwujud adalah membuat 10 Bali baru atau destinasi pariwisata yang berpotensi seperti Bali.
Salah satu dari 10 Bali baru itu adalah kawasan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di Pantai Mandalika, Kuta, Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Mimpi Jokowi pada Mandalika tak main-main , salah satunya menghadirkan MotoGP.
Hanya saja, ada persoalan kecil yang penulis lihat akan mengganjal bagi PT Indonesia Tourism Development Corporate (ITDC), BUMN yang sukses membangun kawasan pariwisata Nusa Dua di Bali, mewujudkan Mandalika dengan luas 1.034 hektar jadi destinasi baru.
Masalah yang mengganjal bukan masalah klasik yakni penduduk yang menolak KEK tetapi kegiatan Penambang Emas Tanpa Izin (PETI) Gunung Prabu yang hanya sepeminuman teh dari KEK Mandalika tersebut.
Selain kegiatan PETI di Gunung Prabu, ada juga PETI di Taliwang Sumbawa Barat dan Sekotong Lombok Barat. Ironisnya, tiga lokasi PETI yaitu Taliwang Sumbawa Barat, Gunung Prabu Lombok Tengah dan Sekotong Lombok Barat termasuk daerah yang termiskin di Provinsi NTB.
Selain miskin, ketiga lokasi PETI rentan terhadap perubahan iklim, sosial dan ekonomi di bawah ancaman konstan degradasi lingkungan, iklim lahan kering, deforestasi. Ancaman nyata bagi ekonomi dan kesehatan masyarakat setempat. Sepertinya, alam mengutuk mereka yang hanya mengeruk isi Bumi.
Sebagai ilustrasi kerusakan alam ada di Sumbawa Barat, di mana empat dari sepuluh orang pemilik gelondong pengolahan emas adalah warga pendatang dengan jumlah gelondong sekitar 6000an unit. Dengan kapasitas tersebut, jumlah penggunaan merkuri per hari untuk di Sumbawa Barat sekitar setengah ton.
Selain gelondong, kegiatan PETI lainnya adalah menggunakan tong dengan kapasitas produksi per hari mencapai 1,5 ton lumpur. Kegiatan PETI menggunakan tong, selain merkuri juga menggunakan bahan berbahaya lainnya seperti sianida dan karbon. Bisa dibayangkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan PETI hanya di Sumbawa Barat saja.
Kegiatan PETI sesungguhnya melibatkan jejaring yang kompleks. Terdapat aneka interaksi vertikal (patron – klien) di berbagai titik mata rantai kegiatan PETI dengan bentuk hubungan yang sifatnya parasit maupun mutualis.
Jejaring yang kompleks dengan transaksi ekonomi pada setiap titik simpul pada mata rantai kegiatan PETI ini dengan sendirinya membutuhkan penanganan ekstra hati-hati dan tidak parsial sektoral saja.
Para aktor selain penambang dan pemilik fasilitas produksi baik gelondongan atau tong antara lain adalah pemodal sekaligus pemilik lubang atau area galian tambang, penyedia bahan kimia merkuri, sianida dan karbon, oknum perusahaan, oknum aparat penegakan hukum (gakkum) dan tokoh lokal sebagai pelindung (backing).
Mereka berkolaborasi dengan pengusaha penyewaan alat berat, jasa penitipan kenderaan, pekerja angkutan batu emas dari lubang ke tempat pengolahan, pekerja angkutan logistik dan kebutuhan para penambang dari kampung terdekat ke lokasi, pemecah batu dan lain-lain.
Kondisi ini menyebabkan pola penanganan PETI selama ini tidak efektif. Seringkali operasi penertiban dari aparat penegakan hukum menemukan kondisi di lapangan sudah kosong melompong karena rencana operasi gakkum sudah dibocorkan.
Kalaupun ada kawasan PETI yang sudah ditertibkan, seringkali tidak seberapa lama kemudian para penambang sudah kembali dan beraktifitas di kawasan semula karena penambang harus mengembalikan dana yang sudah dipinjamkan oleh pemodal. Pemodal sebagai patron adalah pemilik lobang tersebut dan sebagai aset bisa diperjualbelikan.
Mandalika sebagai solusi
Hingga tulisan ini disusun dapat disimpulkan, Pertama upaya penertiban PETI belum menyentuh para aktor di sepanjang rantai pasokan (supply chain) kegiatan PETI yang cukup kompleks termasuk oknum aparat yang berperan sebagai pengaman (backing).
Kedua, sesungguhnya mata rantai paling lemah ada pada posisi Penambang yang melakukan kegiatan penambangan tidak lebih dari sekedar bertahan hidup. Ketiga, banyak warga pendatang bekerja sebagai penambang sehingga tidak memberi kontribusi langsung pada perekonomian daerah.
Keempat, diperlukan perumusan solusi holistik dalam kerangka pembangunan regional berkelanjutan. Tidak sekadar menutup lubang seperti yang dilakukan dalam penyelesaian PETI di Pongkor, Bogor.
Harus disadari masyarakat yang terlibat kegiatan PETI telah terbiasa memperoleh dan membelanjakan uang dengan relatif cepat. Akan menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mengembalikan masyarakat petani yang telanjur tercerabut dari kehidupannya karena bekerja sebagai penambang.
Menutup tambang memang menjadi solusi efektif, hanya saja bagaimana dengan ekses ekonomi sosial masyarakat lokal? Menurut hemat penulis, pengembangan KEK Mandalika adalah salah satu solusi dalam penyelesaian masalah PETI di wilayah Sekotong Lombok Barat yang dalam skala lebih luas mewujud dalam Proyek Kawasan Pariwisata Lombok Selatan.
Strateginya adalah dengan menciptakan peluang usaha bagi masyarakat setempat melalui penciptaan berbagai usaha ramah lingkungan (green business) yang terintegrasi yang terkait dengan pengembangan pariwisata.
Pola kemitraan antara perusahaan tambang sebagai pemegang konsesi wilayah PETI dan pelaku usaha pariwisata untuk membantu kegiatan PETI dikonversi menjadi metode yang ramah lingkungan dan berkelanjutan serta memperkenalkan peluang bisnis hijau baru yang dapat dipelajari dan diadopsi dengan mudah.
Usaha patungan (joint venture) perlu didirikan untuk memproduksi dan menjual barang dan jasa ke sektor industri pariwisata. Targetnya adalah untuk mendorong kewirausahaan hijau (green business) dan usaha patungan (joint venture company) bersama masyarakat setempat termasuk penambang.
Pendekatan pembangunan wilayah terintegrasi berkelanjutan akan memaksimalkan penurunan persoalan ekonomi dan sosial, pelestarian lingkungan, meningkatkan kesetaraan gender dan pertumbuhan ekonomi inklusif.
Tentu saja aspek kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang konsisten semua usaha pariwisata adalah dengan mewajibkan pengadaan barang dan jasa dari penyedia atau produsen lokal secara kontrak terorganisasi.
Ini merupakan peluang besar bagi masyarakat lokal, yang bagaimanapun karena kekurangan modal sendiri dan pengetahuan yang relevan tidak akan bisa terkapitalisasi tanpa fasilitas pendanaan dalam proyek.
Jika hal ini diwujudkan Proyek Kawasan Pariwisata Lombok Selatan nantinya akan menjadi model untuk pengembangan ekonomi regional yang berkelanjutan bagi kawasan PETI lainnya. Ini juga diharapkan akan menginspirasi sektor swasta dan sumber-sumber pendanaan hijau (green funds) untuk ikut terlibat lebih banyak. (cnbcindonesia)
Discussion about this post