[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang semakin bergulir melibatkan berbagai pihak mulai dari otoritas keuangan, regulator, legislator hingga para nasabah.
Munculnya perkara ini bagi sebagian besar kalangan sangat mengejutkan yaitu diawali dari defisit tahun 2006 yang kemudian semakin melebar di tahun 2008 dan 2009, sebelum akhirnya gagal bayar tahun 2018, meskipun sempat mengalami surplus sekitar Rp 1,3 triliun.
Kesulitan yang dihadapi Jiwasraya tersebut bagi sebagian orang diyakini berasal dari krisis tahun 1998 ketika nilai tukar rupiah terdepresiasi signifikan tetapi pemerintah tidak memberikan bantuan kepada perusahaan asuransi.
Gambaran ini memperlihatkan keanehan yaitu pertama, meski surplus tetapi bisa gagal bayar dan kedua peristiwa ini terjadi ketika performa ekonomi Indonesia sedang baik ditandai oleh tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara sekawasan.
Untuk mengatasi persoalan yang dihadapi Jiwasraya itu, pemerintah dalam hal ini Bapepam-LK (lembaga sebelum hadirnya OJK tahun 2011), OJK dan Kementerian BUMN telah melakukan arahan dan berbagai upaya mulai dari membuat skema reasuransi, pemberian izin produk JS Savings Plan dan berbagai arahan himbauan lainnya.
Jiwasraya sendiri melakukan penilaian kembali aset tanah dan bangunan sesuai dengan standar akuntansi keuangan konvergen IFRS sehingga memberikan implikasi revaluasi.
OJK juga melakukan pemeriksaan langsung dan menggunakan audit BPK menemukan laporan lebih nilai dan kewajiban kurang nilai.
Selanjutnya, OJK juga memberikan sanksi dan juga dilanjutkan dengan pembicaraan tentang penurunan premi yang signifikan. Sedangkan Kejaksaan Agung (Kejagung) mulai menangkapi lima tersangka pelaku terkait “penggelapan” dana di Jiwasraya (kini berkembang menjadi enam tersangka).
Semua usaha tersebut patut diapresiasi.
Bagi nasabahnya, kasus Jiwasraya ini adalah jelas kegagalan perusahaan asuransi membayar produknya yang melibatkan kerugian secara cukup signifikan.
Bagi akuntan, kasus ini merupakan rekayasa laporan keuangan yang melebihkan dan mengurangi nilai sehingga terkait profesi akuntan terutama luar negeri. Bagi sebagian lainnya ia merupakan implikasi krisis tahun 1998. Ia bisa juga dilihat sebagai lemahnya otoritas keuangan yaitu OJK sehingga perlu dipertanyakan fungsinya.
Bagi KPK dan aparat hukum, ia adalah kasus korupsi dan pelanggaran hukum. Bagi investor, perlu dipertanyakan mengapa berinvestasi di produk yang salah.
Semua pandangan yang ada tersebut lebih memperlihatkan tindakan responsif dan otomatis ketika terjadi peristiwa, padahal persoalannya adalah makro sehingga lebih universal yaitu menyangkut hukum atau tata aturan keuangan yang selama ini diabaikan dan kini semakin memperlihatkan dirinya.
Aturan-aturan tersebut dapat ditelusuri sebagai berikut.
Akankah kita terus mengabaikannya demi kepentingan sekelompok saja?
Apa yang terjadi pada Jiwasraya dapat ditelusuri pertama dari kebijakan yang menganggap bahwa bahwa uang diciptakan oleh otoritas yaitu bank sentral.
Namun teori mengatakan bahwa otoritas moneter seperti Bank Indonesia boleh saja menciptakan uang (m1) dan mengontrol jumlah uang beredar tetapi bank komersial juga bebas menciptakan uang (m2).
Dalam hal ini, persoalannya adalah otoritas moneter mungkin bisa mengontrol penciptaan uang tetapi tetap tidak bisa mengontrol keinginan lembaga keuangan bank dan asuransi untuk menciptakan uang (m2) atau mempercepat perputaran uang.
Apa yang dilakukan oleh Jiwasraya adalah bagian dari penciptaan uang yang sulit untuk dikontrol. Meskipun sulit, seharusnya otoritas moneter dan keuangan dapat menjaga jarak dengan keinginan sektor privat tersebut terkait penciptaan uang itu. Sayangnya, otoritas keuangan justru berada di tengah pusaran keuangan sehingga menimbulkan pertanyaan terhadap kredibilitas dan independensinya.
Kedua, kebijakan penciptaan itu terkait dengan suku bunga yang merupakan indikator penting di dalam ekonomi makro. Sudah menjadi aturan umum bahwa tingkat suku bunga memiliki peran yang sangat penting terkait penciptaan uang (m2) yang kebetulan juga merupakan sumber pendapatan baik bagi bank sentral maupun bank komersial serta lembaga asuransi. Dapat juga disebut premi.
Pada kenyataannya, sebagaimana diketahui, tingkat suku bunga di negara berkembang sudah naik signifikan sebetulnya sejak tahun 1980 ketika krisis mulai dirasakan di berbagai belahan negara berkembang termasuk di Indonesia yang menjadi puncaknya tahun 1997. Pada periode ini juga kenaikan tingkat suku bunga tersebut diiringi oleh kenaikan produktivitas kapital di negara maju.
Oleh karena itu, kasus Jiwasraya dapat ditarik lebih jauh lagi ke belakang yakni periode ketika tingkat suku bunga mengalami kenaikan tajam. Jiwasraya sendiri mulai menunjukkan terpengaruh oleh kenaikan suku bunga ini dan menaikkan suku bunga hingga 13-14%.
Sisi makro Jiwasraya
Oleh karena itu pandangan yang mengatakan bahwa gagal bayar Jiwasraya berawal dari krisis moneter tahun 1997 ada benarnya, namun sekali lagi persoalannya mesti dilihat secara makro yaitu bersifat sistemik dan struktural dan bukan hanya sebagai akibat krisis di satu periode tertentu yang kemudian menyebabkan kesulitan berkepanjangan dalam neraca dan tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah melalui bail out.
Ketiga, hal yang sebetulnya perlu juga diperhatikan adalah mengenai tingkat inflasi. Sebagaimana diketahui, indikator ini juga memiliki peran yang penting di dalam manajemen ekonomi makro.
Kenaikan pendapatan akan menyebabkan kenaikan harga sehingga sebetulnya hubungan antara kenaikan harga barang dan daya beli aset finansial berbanding terbalik.
Semakin harga barang naik, semakin harga aset finansial menurun. Begitu juga dengan perusahaan asuransi, kenaikan tingkat inflasi dapat menyebabkan kenaikan risiko yang akhirnya berdampak kepada pendapatan asuransi. Namun demikian, inflasi yang rendah juga bisa berdampak kurang baik bagi perusahaan asuransi.
Apa yang terjadi pada Jiwasraya justru terjadi ketika inflasi cenderung rendah dan dianggap baik. Padahal inflasi yang rendah juga bisa disebabkan karena memang tidak adanya sumber-sumber produksi sehingga tingkat pendapatan rendah. Hal tersebut juga secara tidak langsung mempengaruhi kondisi Jiwasraya dalam jangka panjang.
Dengan demikian, apa yang terjadi pada Jiwasraya ini bukan semata-mata kesalahan prosedur, tetapi lebih dari itu adalah kekeliruan kebijakan makro. Sebagaimana diketahui, dalam makro ada pendekatan dan prosedur.
Apa yang kemudian berkembang juga menyebutkan bahwa Jiwasraya memiliki profil keuangan yang sangat beresiko karena sebagian besar saham berkualitas rendah. Hal ini berbanding terbalik dari teori investasi yang menjelaskan struktur komposisi investasi yang aman. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa ini adalah kesalahan modeling.
Hal ini kurang tepat karena modeling memang memiliki keterbatasan, begitu juga dengan teori analisis var yang dikembangkan oleh ekonometrika pun tidak sepenuhnya stabil.
Apa yang dialami Jiwasraya juga sudah dialami oleh asuransi lainnya seperti Bumiputera. Bagaimana mungkin kesalahan modeling dapat dialami oleh banyak lembaga keuangan dan asuransi sekaligus.
Untuk itu, persoalannya yang sebenarnya adalah persoalan makro. Suka atau tidak suka, lembaga tinggi negara termasuk perwakilan rakyat seharusnya menempatkan persoalan ini secara pas terlebih dahulu. Pembentukan Pansus Jiwasraya tanpa melihat aspek persoalan sesungguhnya hanya akan menangani secara parsial. Lagipula, DPR juga sudah membuat KSSK yang seharusnya bisa mengantisipasi ini tetapi tetap saja terjadi.
Pertanyaannya kemudian adalah siapa yang mendapat keuntungan?
Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang wajar karena urusan tingkat suku bunga tersebut tentu menghasilkan profit, tetapi jika jumlahnya cukup signifikan mengapa tingkat pertumbuhan persisten.
Dengan kata lain, kasus keuangan seperti ini secara makro memang tidak berdampak kepada pertumbuhan tetapi lebih kepada profit. Karakteristik ini seperti menjelaskan bahwa kasus Jiwasraya bukan persoalan makro.
Anggapan seperti itu sebetulnya kurang tepat karena sebagaimana diketahui, yang diuntungkan termasuk perusahaan asuransi tersebut dan perusahaan lain yang sahamnya dibeli menggunakan dana nasabah. Sesungguhnya yang terjadi adalah profit tanpa pertumbuhan. Ekonomi makro seperti ini jelas harus segera direvisi dirubah karena jika terus dipertahankan akan menjadi bumerang bagi ekonomi nasional.
Kasus Jiwasraya juga memperlihatkan adanya kegagalan teori standar dalam melihat substansi permasalahan. Apa yang dilakukan oleh manajemen Jiwasraya dengan menciptakan produk JS Saving Plan sebetulnya adalah langkah yang umum dilakukan oleh para pemain saham atau pun lembaga keuangan sebagaimana dijelaskan oleh teori umum finansial.
Ketika penurunan terjadi maka langkah yang biasa diambil adalah menciptakan sesuatu yang dianggap inovatif misalnya saja penciptaan produk baru dengan harapan dapat mengatasi penurunan yield atau hasil. Sebetulnya ini dapat dianggap “prosedur” dengan harapan inovasi ini berhasil dan banyak diadopsi.
Hal ini wajar di dalam keuangan tetapi persoalannya adalah ketidakpastian yang semakin meningkat di dalam ekonomi makro akibat tingkat pertumbuhan yang berdasarkan keuangan yang semakin penting di era sekarang.
Dengan anggapan keuangan merupakan panglima pertumbuhan, keputusan diambil. Dengan demikian apa yang terjadi sebetulnya adalah manajemen overconfident pada level mikro, sedangkan yang terjadi pada level makro adalah anggapan bahwa hal tersebut bukan persoalan makro. Untuk itu, apa yang sebetulnya terjadi adalah salah teori tentang makro.
Peristiwa ini memperlihatkan kegagalan teori ekonomi konvensional dan praktiknya. Pemerintah perlu memikirkan untuk menggunakan pendekatan lain.
Dalam praktiknya, pemerintah perlu menarik lebih jauh lagi persoalan ini secara lebih serius. Berbagai rentetan peristiwa ini memperlihatkan dinamika sektor keuangan yang telah menunjukkan gerakannya dalam bentuk slow motion.
Gerakan tersebut bisa ditarik ke belakang hingga independensi Bank Indonesia. Sebetulnya, independensi bank sentral merupakan ciri khas ekonomi pasar bebas, sedangkan Undang-Undang Dasar memperlihatkan bentuk ekonomi yang lebih kepada pentingnya negara (state-led). Hal ini tentu kontradiksi yang perlu segera diatasi jika tidak ingin berkembang ada banyak otoritas di negeri ini yang diperlihatkan oleh teori ekonomi pasar yang sudah memperlihatkan keterbatasannya.
Untuk itu, pemerintah perlu segera membenahi internal yaitu dengan memperbaiki berbagai kontradiksi internal perekonomian termasuk kontradiksi antara keuangan dan industrialisasi.
Akankah kita terus mengabaikannya? . (cnbcindonesia)
Discussion about this post