[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Tahun 2019 akan segera berakhir. Dekade baru akan segera dimulai.
Di tahun ini, panasnya perang dagang AS-China, kisruh perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit), sampai masalah geopolitik seperti Hong Kong mewarnai perdagangan di pasar keuangan dunia.
Dinamika global ini juga turut berpengaruh pada Indonesia. Pertumbuhan ekonomi pun ikut melambat.
Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan. Di kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,02% secara tahunan.
Angka pertumbuhan ekonomi tersebut berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Di mana pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan. Sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05%.
Capaian tersebut jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018. Kala itu perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.
Lantas, laju perekonomian untuk keseluruhan tahun 2019 hampir mustahil untuk tumbuh sesuai dengan outlook yang dipatok pemerintah di level 5,2%. Bahkan, hampir pasti bahwa pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2019 akan lebih rendah dari capaian tahun 2018 yang mencapai 5,17%.
Walaupun ada banyak sentimen negatif baik dari dalam maupun luar negeri, ternyata pasar keuangan Indonesia masih bisa membukukan kinerja yang ciamik. Terhitung di sepanjang tahun 2019, hingga penutupan perdagangan hari Kamis (26/12/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia membukukan apresiasi.
IHSG naik sebesar 2,02% sementara imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun turun 85,5 basis poin (bps). Rupiah pun turut terapresiasi 2,96% di pasar spot melawan dolar AS.
Maklum saja jika kinerja pasar keuangan tanah air positif pada tahun ini di tengah-tengah terpaan sentimen negatif. Pasalnya, bursa saham AS alias Wall Street yang merupakan kiblat pasar keuangan dunia membukukan kinerja yang sangat-sangat baik.
Terhitung di sepanjang tahun 2019, tiga indeks saham acuan di AS membukukan apresiasi yang begitu besar. Di sepanjang tahun ini, indeks Dow Jones melejit hingga 22,69%, indeks S&P 500 melesat 29,24%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 35,98%.
Untuk diketahui, dari ketiga indeks saham acuan di AS yang disebutkan di atas, indeks S&P 500 merupakan yang paling baik dalam merepresentasikan kinerja bursa saham AS. Kurang dari 1% lagi, maka indeks S&P 500 akan membukukan kinerja tahunan terbaik sejak tahun 1997 silam.
Lalu mengapa ini terjadi?
Sosok Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump adalah tokoh kunci di balik kinerja Wall Street yang begitu memukau. Percaya atau tidak, ini ditegaskan Bespoke Investment Group sebagaimana dilansir CNBC International.
Mengutip data lembaga itu, secara rata-rata di tahun ketiga presiden kontroversial itu berkuasa, indeks S&P 500 membukukan imbal hasil sebesar 12,8%. Data yang digunakan oleh Bespoke Investment Group sendiri sejak tahun 1928.
Lantas, imbal hasil indeks S&P 500 yang sudah mencapai 29,24% hingga penutupan perdagangan kemarin menempatkan Trump di posisi yang sangat superior, jika dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya.
Jangankan di tahun ketiga, di tahun pertama pun Trump sudah jauh meninggalkan presiden-presiden AS lainnya, jika berbicara mengenai kinerja pasar saham.
Di tahun pertamanya sebagai presiden AS (2017), indeks S&P 500 membukukan imbal hasil sebesar 19,42%. Padahal, secara rata-rata di tahun pertama presiden, indeks S&P 500 hanya naik tipis 5,7%.
Memang, di tahun kedua Trump (2018) indeks S&P 500 terkoreksi sebesar 6,24%, lebih buruk dibandingkan dengan rata-rata di tahun kedua presiden yakni apresiasi sebesar 4,5%. Namun, dengan melihat kinerja di tahun pertama dan ketiga yang begitu superior dibandingkan para pendahulunya, jelas Trump terbilang lebih ‘ramah’ bagi pasar saham AS.
Jika dibandingkan dengan Presiden Barack Obama misalnya, superioritas Trump jelas sangat terlihat. Di tiga tahun pertama periode satu pemerintahan Obama (2009-2011), indeks S&P 500 membukukan apresiasi sebesar 39,23%.
Sementara itu, di tiga tahun pertama pemerintahan Trump (hingga penutupan perdagangan kemarin), indeks S&P 500 sudah melejit hingga 44,71%.
Sejatinya, perbedaan antara apresiasi indeks S&P 500 di era Obama dan Trump tak jauh-jauh amat. Namun, harus diingat bahwa apresiasi indeks S&P 500 yang nyaris mencapai 45% tersebut dicapai oleh Trump kala The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS tengah agresif melakukan normalisasi tingkat suku bunga acuan.
Seperti yang diketahui, pasca AS dilanda kirisis keuangan pada tahun 2008 silam, The Fed menurunkan tingkat suku bunga acuan hingga ke rentang 0%-0,25% guna menstimulasi laju perekonomian.
Terhitung dalam periode Desember 2008 hingga November 2015, federal funds rate dipatok di rentang 0%-0,25%. Kala tingkat suku bunga acuan dipatok di level yang sangat rendah seperti itu, bank akan terdorong untuk mematok tingkat suku bunga kredit di level yang rendah pula sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya.
Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar dengan kencang dan akan terefleksikan di pasar saham (pasar saham menguat).
Namun, di era pemerintahan Trump, The Fed justru cukup gencar melakukan normalisasi. Per Desember 2016 atau sebelum Trump dilantik, federal funds rate dipatok di rentang 0,5%-0,75% oleh The Fed. Di tahun 2017, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps, membawanya ke rentang 1,25%-1,5%.
Kemudian di tahun 2018, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 100 bps, membawanya ke rentang 2,25%-2,5%. Beralih ke tahun 2019, The Fed melonggarkan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps, membawanya ke rentang 1,5%-1,75%.
Walaupun sudah dilonggarkan, tetap saja Obama menikmati era di mana tingkat suku bunga acuan berada di level yang sangat rendah, jauh lebih rendah dibandingkan Trump. Jadi, bisa dikatakan bahwa sebenarnya The Fed berperan besar dalam mendongkrak kinerja Wall Street di tiga tahun pertama pemerintahan Obama (periode satu).
Lebih lanjut, ‘gagahnya’ Trump jika disandingkan dengan Obama semakin jelas terlihat ketika kita melihat fakta bahwa indeks S&P 500 sudah ambruk hingga 38,49% pada tahun 2008. Kala itu, krisis keuangan global yang pada awalnya bermuara di AS melanda sehingga pasar saham dunia menjadi bulan-bulanan pelaku pasar.
Hal ini lantas menciptakan yang namanya low-base effect. Sebenarnya akan lebih mudah bagi indeks S&P 500 untuk mencetak kinerja yang oke di era Obama lantaran ada yang namanya low-base effect tersebut. Tetapi faktanya, Trump tetap bisa mengalahkan Obama. Sekali lagi di tengah-tengah normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan oleh The Fed. (cnbcindonesia)
Discussion about this post