[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.042 per dolar AS pada perdagangan pasar spot, Kamis (31/10) sore. Kurs mata uang garuda tercatat melemah 12 poin atau 0,09 persen dibandingkan perdagangan kemarin, Rp14.030 per dolar AS.
Sementara, kurs referensi Bank Indonesia (BI) Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) menempatkan rupiah di posisi Rp14.008 per dolar AS atau melemah dibandingkan posisi Rabu (30/10), Rp14.044 per dolar AS.
Sore hari ini, mayoritas mata uang di kawasan Asia menguat terhadap dolar AS. Tercatat, peso Filipina menguat 0,39 persen, won Korea menguat 0,37 persen, yuan China 0,13 persen, dan yen Jepang 0,42 persen.
Selanjutnya, baht Thailand, dolar Singapura, dan ringgit Malaysia masing-masing menguat sebesar 0,10 persen. Sementara, pelemahan terjadi pada rupee India 0,11 persen, dan lira Turki yang melemah sebesar 0,28 persen terhadap dolar AS.
Di negara maju, mayoritas nilai tukar menguat terhadap dolar AS. Poundsterling Inggris menguat 0,37 persen, dolar Australia 0,22 persen, dan euro keok 0,19 persen, sedangkan dolar Kanada turun tipis 0,05 persen.
Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menilai pelemahan rupiah terjadi akibat pemangkasan suku bunga dari The Fed.
“Federal Reserve AS memangkas suku bunga dana acuan sebesar 25 basis poin menjadi kisaran 1,5 persen hingga 1,75 persen, seperti yang diharapkan pasar,” kata Ibrahim saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (31/10).
Kemudian, bank sentral AS juga mengisyaratkan bahwa mereka mungkin menghentikan rencana kenaikan suku bunga di masa depan. Merespons dari tindakan The Fed.
Selain itu, rilis data ekonomi China yang mengecewakan juga menjadi sentimen pelemahan rupiah.
Data Manufacturing PMI versi resmi Pemerintah China periode Oktober 2019 menunjukkan level 49,3 atau lebih rendah dibandingkan ekspektasi sebesar 49,8. Angka di bawah 50 ini menunjukkan kontraksi.
“Kontraksi aktivitas manufaktur China pada Oktober menandai kontraksi selama enam bulan beruntun,” kata Ibrahim.
Sementara dari sisi domestik, Ibrahim mengatakan perekonomian fundamental Indonesia masih cukup untuk menghadapi tekanan krisis global akibat ketidakjelasan perang dagang antara AS dan China, serta brexit yang menyebabkan perekonomian diberbagai negara menjadi tidak stabil. (cnn)
Discussion about this post