[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberi sinyal akan menerbitkan surat utang berdenominasi valuta asing (valas) alias global bond yang ditawarkan ke investor asing dalam waktu dekat. Meski begitu, ia masih enggan memberi kepastian waktu penerbitan tersebut.
Bendahara Negara memberi sinyal penerbitan global bond karena mempertimbangkan kondisi tingkat bunga acuan yang tengah menurun di dunia. Hal ini membuat tingkat imbal hasil (yield) surat utang luar negeri tengah menurun dari sebelumnya.
Kondisi memungkinkan pemerintah bisa menarik utang dengan tingkat bunga yang lebih rendah kepada pemberi utang. Namun, utang dari Indonesia bisa menarik bagi investor karena yield-nya masih lebih tinggi dari negara-negara lain.
“Secara internasional suku bunga sangat rendah. Jadi ini akan memberikan opportunity (kesempatan) pada kita untuk mencari pembiayaan paling baik bagi kita. Nanti kita akan lihat berapa,” ucap Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Lebih lanjut, sinyal penerbitan global bond sejatinya sah-sah saja dilakukan lantaran ia sudah mengantisipasi dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 144/PMK.05.2019 tentang Perkiraan Defisit dan Tambahan Pembiayaan Defisit APBN Tahun Anggaran 2019.
“Ini dalam pembiayaan yang mungkin tidak terlalu besar, tapi kami tetap mengkombinasikan antara domestik dan internasional,” ujarnya.
Di sisi lain, penerbitan global bond ibarat jurus terakhir yang perlu dilakukan mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu. Sebab, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 kian melebar. Defisit anggaran sebesar Rp199,1 triliun atau 1,24 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir Agustus 2019.
Realisasi defisit itu sejatinya belum mencapai target yang dipasang pemerintah sebesar Rp296 triliun atau sebesar 1,84 persen dari PDB. Namun, kekurangan anggaran negara terus meningkat dari bulan ke bulan jelang akhir tahun.
Defisit terus melebar karena kondisi perekonomian global dan domestik sama-sama mendapat tekanan. Misalnya sektor manufaktur dan pertambangan tertekan karena pengaruh gejolak harga komoditas di pasar internasional.
“Tekanan penerimaan sangat besar terutama berasal dari kondisi ekonomi. Maka kami melihat defisit kemungkinan melebar,” katanya.
Hal ini yang selanjutnya membuat aliran penerimaan negara menjadi seret. Kantong penerimaan baru terisi Rp1.189,3 triliun per akhir Agustus 2019.
Sedangkan realisasi belanja negara pada periode yang sama sudah mencapai Rp1.388,3 triliun. Pertumbuhan penerimaan hanya naik 3,2 persen, sementara belanja mencapai 6,5 persen.
Discussion about this post