[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Ekonom Faisal Basri menyebut Indonesia surga bagi industri rokok. Ia menilai konsumsi rokok relatif mudah dan murah, di samping guyuran iklan di ruang terbuka, televisi, dan media sosial.
Untuk jenis rokok putih, misalnya, ia menilai cukai yang dipatok sangat murah. Akibatnya, harga jual pun menjadi murah. Belum lagi, siasat merampingkan dan memperpendek batang rokok untuk menekan harga.
“Untuk menyiasati besaran cukai, industri rokok mengeluarkan versi kretek dengan variasi jumlah batang. Tentu saja, untuk merek yang sama, harga satu bungkus isi 20 batang lebih mahal daripada 16 batang atau 12 batang. Begitulah siasat mereka merayu perokok pemula,” ujarnya.
Padahal, ia melanjutkan RPJMN IV 2020-2024 yang bertajuk meningkatkan sumber daya manusia berkuallitas dan berdaya saing menargetkan prevalensi merokok penduduk usia 10-18 tahun turun dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 5,4 persen pada 2019.
“Pemerintah pun sangat mengetahui betapa pengeluaran orang miskin untuk rokok sangat besar, kedua setelah beras. Pengeluaran untuk rokok hampir sama dengan gabungan pengeluaran pemenuhan protein dari tahu, tempe, daging ayam dan telur ayam. Rokok nyata-nyata memiskinkan,” katanya.Sayangnya, alih-alih mencapai target, prevalensi merokok anak-anak justru meningkat jadi 8,8 persen pada 2016 dan kembali naik ke 9,1 persen pada 2018.
“Anak-anak itu adalah perokok pemula korban dari abainya negara melindungi mereka dari penetrasi luar biasa industri rokok,” imbuh Faisal.
Industri rokok sendiri, menurut catatannya, menggelontorkan dana US$1 juta atau Rp14 miliar (kurs Rp14 ribu per dolar AS) setiap jam untuk mengiklankan produk-produk tembakau, termasuk miliaran dolar AS berupa rabat (potongan harga jika membeli dalam jumlah besar) untuk para peritel.
Menurut Faisal, pemerintah sengaja membiarkan industri rokok sedemikian leluasa ‘mengelabui’ konsumen. Lebih parahnya lagi, tak seperti di banyak negara lainnya, konsumen dapat membeli satu batang rokok di warung-warung pinggir jalan.
Apalagi, pemerintah mengetahui bahwa 30 persen pengeluaran BPJS Kesehatan untuk membayar biaya kesehatan masyarakat terkait dengan rokok.
Karenanya, ia menyarankan jika pemerintah benar peduli, maka perlu segera ratifikasi FCTC (framework convention on tobacco control).
“Harusnya kita malu menjadi satu dari tujuh negara di dunia yang belum meratifikasi FCTC, di antara Somalia, Malawi, Eritrea, Andorra, Liechtenstein, dan Monako,” jelas Faisal.(cnn)
Discussion about this post