[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id -Arus kas Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Kesehatan mencatatkan surplus pada tahun lalu mencapai Rp 18,74 triliun. Pertama kalinya sejak lembaga ini berdiri pada 2014. Meski demikian, manajemen menekankan ini bukan berarti kondisi keuangan BPJS Kesehatan sudah aman.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menjelaskan, keuangan lembaga secara keseluruhan yang tercermin dari aset bersih masih defisit Rp 6,36 triliun pada tahun lalu. ‘Arus kas memang surplus Rp 18,74 triliun tetapi ini belum membayar kewajiban, seperti incurred but not reported (IBNR),” kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam rapat kerja bersama Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (17/3).
Secara perinci, kewajiban IBNR tercatat sebesar Rp 22,18 triliun. Selain itu, terdapat outstanding claim sebanyak Rp 1,16 triliun, serta klaim dalam proses bayar Rp 1,18 triliun. Dengan demikian, seluruh kewajiban mencapai Rp 25,15 triliun.
Ali pun menyebutkan, kondisi keuangan BPJS Kesehatan saat ini belum masuk dalam kategori aman. Keuangan BPJS Kesehatan dapat dikatakan aman jika aset bersih yang dimiliki mencukupi estimasi pembayaran klaim satu setengah bulan ke depan. Prasyarat tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 84 tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 87 tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan.
“Dalam kondisi normal atau aman itu sekitar Rp 13,93 triliun,” ujar dia.
Kendati demikian, ia menjelaskan bahwa tak ada lagi gagal bayar ke rumah sakit saat ini. Menurut dia, BPJS Kesehatan sempat tidak mampu membayar klaim yang sudah diselesaikan pihak rumah sakit sejak 2018. Klaim gagal bayar bahkan sempat mencapai Rp 15,51 triliun pada 2019.
“Januari sampai Juni 2020 sempat masih ada gagal bayar, tetapi mulai Juli dan seterusnya tidak terjadi kembali,” katanya.
Manajemen BPJS Kesehatan sebelumnya menjelaskan, arus kas lembaga yang positif pada tahun lalu bukan semata karena kenaikan iuran. Pemerintah kembali menaikkan iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan setelah sempat menurunkannya usai Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali untuk membatalkan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019.
Pasal 34 perpres tersebut mengatur kenaikan iuran peserta kelas I menjadi Rp 160 ribu, kelas II menjadi Rp 110 ribu, dan kelas III menjadi Rp 42 ribu. Penurunan iuran berlaku untuk pembayaran pada April hingga Juni. Dalam tiga bulan tersebut, peserta mandiri hanya perlu membayar iuran sebesar ketentuan sebelumnya, yakni Rp 80 ribu bagi kelas I, Rp 51 ribu untuk kelas II, dan Rp 25 ribu bagi kelas III.
Penurunan iuran berlaku untuk pembayaran pada April hingga Juni. Dalam tiga bulan tersebut, peserta mandiri hanya perlu membayar iuran sebesar ketentuan sebelumnya, yakni Rp 80 ribu bagi kelas I, Rp 51 ribu untuk kelas II, dan Rp 25 ribu bagi kelas III.
Sementara dalam Pepres Nomor 64 Tahun 2020 ditetapkan iuran untuk peserta mandiri kelas III sama dengan penerima bantuan iuran jaminan kesehatan, yakni Rp 42 ribu per bulan. Namun, khusus tahun ini, peserta mandiri hanya perlu membayar Rp 25.500 per orang per bulan. Sementara pemerintah akan menanggung sisanya sebesar Rp 16.500. Sementara untuk tahun depan dan selanjutnya, peserta mandiri akan membayarkan iuran sebesar Rp 35 ribu dan pemerintah akan membayarkan sisanya Rp 7 ribu.
Selain kenaikan iuran, BPJS Kesehatan melakukan pengendalian biaya. Ini dilakukan melalui efisiensi dari ketidaksesuaian dokumen pendukung, klaim yang tersaring aturan dan filtrasi, virifikasi pascaklaim, serta audit administrasi klaim dan audit oleh auditor.
Anggota Komisi IX DPR Ade Rezki Pratama menilai, defisit keuangan BPJS Kesehatan sebesar Rp 6,36 triliun akan menjadi beban yang besar untuk direksi baru. “Apalagi seiring dengan program vaksinasi yang terus berjalan,” kata Ade dalam kesempatan yang sama.
Saat vaksinasi berjalan, lanjut dia, aktivitas masyarakat akan kembali normal. Dengan begitu, tak akan ada lagi ketakutan untuk datang ke fasilitas kesehatan yang sempat menyebabkan arus kas BPJS Kesehatan mengalami surplus.
Di sisi lain, Ade mempertanyakan kendala yang dialami BPJS Kesehatan terkait tunggakan yang kerap terjadi sejak tahun 2018 hingga 2020. “Apa kendalanya sehingga baru Juli 2020 dibayarkan?,” ujar dia.
Menurut dia, perlu ditelisik lebih lanjut apakah terdapat kemungkinan adanya rumah sakit swasta atau nasional yang mengalami fraud. Sehingga, BPJS Kesehatan bersama Kementerian Kesehatan dan rumah sakit tersebut bisa menemukan solusi yang seimbang.
Anggota Komisi IX DPR Saleh Pataonan Daulay menjelaskan bahwa sebelumnya memang sudah ada penelitian mengenai surplus BPJS Kesehatan yang hanya bersifat sementara. “Pernah dalam rapat kerja juga ada penelitian kalau tarif BPJS Kesehatan naik bisa surplus, tapi hanya beberapa bulan lalu defisit lagi,” ujar Saleh.
Dia mengatakan bahwa terdapat kondisi fundamental keuangan BPJS Kesehatan yang belum bisa bertahan dengan baik. Maka dari itu, hal tersebut harus bisa menjadi perhatian pemerintah.
Di sisi lain, Saleh menilai bahwa harus terdapat jaminan peningkatan kualitas BPJS Kesehatan setelah iuran naik. “Karena kalau tidak percuma masyarakat bayar mahal-mahal. Tidak semua mampu,” katanya.
Discussion about this post