KeuanganNegara.id– Serangan terhadap fasilitas kilang Saudi Aramco pada Sabtu (14/9) lalu telah mendongkrak harga minyak dunia ke level tertingginya untuk hampir empat bulan terakhir. Kenaikan itu terjadi sebagai reaksi pasar atas risiko berkurangnya pasokan global.
Mengutip Reuters, Selasa (17/9), serangan itu memangkas produksi minyak mentah Arab Saudi hingga 5,7 barel per hari (bph) atau sekitar 5 persen dari pasokan global dunia.
Tak hanya itu, serangan tersebut juga membatasi kemampuan Arab Saudi untuk menggunakan kapasitas produksi cadangan yang mampu memproduksi lebih dari 2 juta bph untuk kondisi darurat.
Padahal, selama bertahun-tahun Arab Saudi merupakan satu-satunya negara produsen minyak dunia yang memiliki kapasitas cadangan yang dapat digunakan dengan cepat ketika terjadi kekurangan pasokan minyak global akibat perang maupun bencana alam.
Peran Arab Saudi sebagai produsen minyak sangat penting. Badan Energi Internasional (IEA) mencatat bantalan pasokan minyak global dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) hanya 3,21 juta bph, di mana 2,27 juta diantaranya berasal dari Arab Saudi.
Sisanya, sebanyak 940 ribu bph kapasitas cadangan sebagian besar dipegang oleh Kuwait dan Uni Emirat Arab. Kapasitas tersebut tentu tak cukup untuk menutup kapasitas cadangan Arab Saudi yang hilang akibat serangan tersebut.
Selama ini, OPEC dan sekutunya (OPEC+) memang tengah menjalankan kebijakan pemangkasan produksi sebesar 1,2 juta bph. Mengingat mayoritas porsi pemangkasan berasal dari Arab Saudi, pembatalan kebijakan tersebut tidak akan serta merta mengerek pasokan global di saat terjadi gangguan.
Sementara itu, kapasitas cadangan yang dimiliki negara non OPEC hanya sedikit. Sebagai contoh, Rusia hanya memiliki kemampuan untuk menambah produksi sekitar 100.000 hingga 150.000 bph.
Sebenarnya, Iran memiliki kapasitas produksi cadangan. Namun, pasar tidak bisa mengakses minyak Iran akibat sanksi yang dikenakan oleh AS. Sejak April lalu, ekspor minyak Iran merosot sekitar 2 juta bph.
Hingga kini, Gedung Putih belum memberikan sinyal bakal merelaksasi sanksi Iran usai serangan tersebut.
Kondisi sama juga dialami oleh Venezuela yang saat ini menerima sanksi AS. Tanpa sanksi AS pun, produksi minyak Venezuela kian merosot sejak beberapa tahun terakhir.
Sebenarnya, tanpa serangan ke Arab Saudi, kapasitas cadangan produksi minyak global terus menurun. Konsultan Energy Aspects memperkirakan kapasitas cadangan OPEC akan turun ke bawah 1 juta bph pada kuartal IV 2019 atau separuh dari kapasitas kuartal II 2019, 2 juta bph.
Manfaatkan Cadangan MinyakTanpa kapasitas cadangan, gangguan pasokan di masa depan bakal mengerek harga minyak. Sebagai respons, produsen bakal investasi dan produksi lebih banyak. Di saat yang sama, konsumen akan mengurangi konsumsinya.
Harapan untuk menutup kekurangan pasokan dari Arab Saudi pun beralih ke AS di mana produksi minyak shale terus menanjak.
Produsen minyak shale dapat memompa minyaknya lebih banyak untuk menahan lonjakan harga. Pasalnya, peningkatan produksi minyak shale dalam dilakukan dalam tempo bulanan, jauh lebih cepat dibandingkan produksi minyak konvensional.
Sayangnya, kemampuan ekspor minyak AS terbatas mengingat pelabuhan minyak di Negeri Paman Sam sudah mendekati kapasitas optimalnya.
IEA sendiri meyakinkan, saat ini, pasokan minyak global masih mencukupi meski produksi minyak Arab Saudi berkurang. Saat terjadi gangguan pasokan yang terduga, sejumlah negara dapat menggunakan cadangan strategisnya. Arab Saudi, AS, dan China memiliki ratusan juta barel minyak sebagai simpanan strategis.
Simpanan tersebut dapat digunakan untuk meredam kenaikan harga. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Presiden AS Donald Trump yang baru-baru ini menerbitkan izin untuk penggunaan Cadangan Minyak Strategis AS.
Selain itu, IEA juga telah menginstruksikan anggotanya untuk menjaga simpanan minyak strategis di tiap negara setara dengan net impor untuk 90 hari.
Kendati demikian, volatilitas pasar minyak akan meningkat seiring berkurangnya cadangan minyak negara-negara tersebut. (cnn)
Discussion about this post