[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Setelah sekian lama tiarap, gagasan penyatuan alias holdingisasi PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I hingga IV kini menggelinding kembali. Kementerian BUMN sebagai ‘lurah’ perusahaan pelat merah itu sudah mengeluarkan secarik surat keputusan berisikan time frame komplit dengan skema aksi bagaimana rencana tersebut harus dieksekusi.
Direktur Utama Pelindo II pun telah ditunjuk oleh Menteri BUMN Erick Thohir sebagai pelaksana atas rencana-rencana yang sudah di susun di lapangan. Penyatuan seluruh Pelindo ke dalam sebuah holding itu diharapkan bisa terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Barangkali ini persepsi penulis saja, holdingisasi operator pelabuhan milik negara sepertinya terkesan, atau dikesankan, sebuah kebijakan yang akan berjalan smooth laksana kain sutera.
Tetapi, itu tadi, kesannya tetap saja sama.Dalam berbagai kesempatan, Elvyn G. Masassya, Direktur Utama Pelindo II yang juga ketua tim kerja sinergi dan integrasi BUMN pelabuhan, memang ada mengungkapkan bahwa sebuah tim sudah pula dibentuk untuk mengkaji berbagai aspek terkait dari rencana integrasi tersebut.
Lupakan persepsi saya. Ia teramat subyektif.
Mari fokus sekarang kepada beberapa catatan kecil berikut yang penulis niatkan sebagai urun rembug terhadap rencana holdingisasi operator pelabuhan milik negara.
Catatan pertama, ada cukup banyak pelabuhan (baca: cabang pelabuhan) pada masing-masing Pelindo yang kinerjanya selalu merugi dan menjadi cost center bagi kantor pusat. Baik karena alasan teknis -tingkat pendangkalan alur atau kolam yang tinggi, misalnya- atau sebab ekonomis seperti tidak memiliki hinterland yang bisa menarik kapal agar sandar teratur di sana.
Pertanyaannya, mau diapakan ini barang?
Apakah ikut diintegrasikan?
Jika demikian, ke dalam bidang usaha apa? Soalnya, pelabuhan yang merugi ini tidak banyak usahanya, rata-rata bergerak dalam usaha terminal serba-guna/multipurpose.
Kedua, isu regulasi. Bisnis kepelabuhanan saat ini diatur dalam UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran dengan berbagai Peraturan Pemerintah, SK Menteri Perhubungan dan lain-lain sebagai rambu bagi pelaku usaha.
F
|
Sejak diberlakukan 12 tahun yang lalu, undang-undang ini tidak mengalami perubahan. Ada upaya mengubahnya oleh DPD RI tetapi belum apa-apa sudah ditentang. Saya tidak hendak berpihak ke kelompok mana pun. Namun, rencana integrasi pelabuhan BUMN yang tengah bergulir dapat mendorong niat mengamandemen UU Pelayaran makin kencang.
Alasannya, akan banyak muncul entitas hybrid hasil “kawin silang” antara BUMN pelabuhan dan BUMN non-pelabuhan, BUMN dan swasta, BUMN dan pemda, BUMN dan asing dan berbagai kombinasi kerja sama lainnya.
Apakah undang-undang tersebut mampu menyelesaikan dispute “antarpasangan” yang bisa saja muncul kelak?
Masih segar dalam ingatan publik akan sebuah sengketa hukum antara BUMN non-pelabuhan dan perusahaan swasta terkait konsesi yang didapat oleh anak usaha hasil patungan kedua pihak.
Benar bahwa masalah hukum di antara mereka itu sudah selesai di mana keputusan majelis hakim MA yang menangani sidang banding mengabulkan permohonan mitra swasta. Tetapi dengan akan berdirinya berbagai entitas usaha baru di bawah holding BUMN pelabuhan peluang dispute yang bakal muncul juga diperkirakan akan tinggi dan rumit.
Kemungkinan besar sengketa hukum yang akan muncul adalah isu konsesi. Sama seperti UU Pelayaran, kebijakan ini juga masih ‘ABG’ sehingga belum banyak jurisprudensi yang bisa dirujuk ketika muncul masalah hukum.
Ketiga, bisnis pelabuhan dalam negeri kini makin terbuka untuk pihak swasta. Sudah banyak pelabuhan/terminal di seluruh Tanah Air yang dikelola oleh mereka.
Sejauh ini usaha yang dijalankan utamanya untuk melayani kepentingan mereka sendiri/grup. Tetapi, tidak sedikit pula yang sudah bertransformasi menjadi fasilitas yang melayani bongkar-muat barang umum seperti yang dilakukan oleh Pelindo.
Bila holdingisasi pada derajat tertentu bisa dimaknai sebagai upaya untuk “menertibkan” pelabuhan-pelabuhan pelat merah agar lebih behave, lalu bagaimana dengan pelabuhan/terminal milik swasta itu?
Jangan sampai operator pelabuhan BUMN diikat dengan tali kekang bernama good corporate governance, sementara pelaku swasta bergerak bebas tanpa ada yang kendali. Jika ini yang berlaku, maka integrasi operator pelabuhan milik negara patut disayangkan. Ini sebuah naked injustice.
Terakhir, jumlah pelabuhan yang dikelola oleh Pelindo sebetulnya tidak banyak, sekitar 140-an. Lebih banyak jumlah pelabuhan yang dikelola langsung oleh Kementerian Perhubungan melalui Unit Pengelola Pelabuhan (UPP) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Keberadaan pelabuhan ini lebih merupakan perwujudan “kehadiran negara” ketimbang aspek bisnis. Kendati demikian, tak sedikit di antara pelabuhan ini yang bisa berkembang dengan cukup baik dari sisi bisnis.
Kemenhub sejak beberapa waktu lalu mencoba menawarkan pelabuhan-pelabuhan tersebut kepada berbagai pihak, termasuk kepada Pelindo, melalui skema public private partnership (PPP).
Kalau memang pelabuhan-pelabuhan ini bagus, apakah mungkin mereka diintegrasikan ke dalam holding BUMN pelabuhan? Sejauh ini tawaran kerja sama PPP yang diusung Kemenhub belum terlihat hasilnya. Kayaknya akan lebih baik bila mereka dikelola di bawah holding. Entahlah. (cnbcindonesia)
Discussion about this post