[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id- Terminal Peti Kemas Pelabuhan Tanjung Emas di Semarang, Jawa Tengah, sempat viral beberapa waktu lalu. Pasalnya, container crane (alat pengangkat kontainer) yang ada di sana roboh setelah ditubruk oleh kapal MV Soul of Luck yang berolahgerak tak terkendali setelah tali assist kapal tunda putus.
Video yang diunggah, barangkali, oleh pekerja yang berada di lokasi kecelakaan, yang menggambarkan kapal berbendera Panama itu, tersebar di media sosial. Kapal itu meluncur menabrak crane, sementara tug boat yang menariknya bergerak mundur setelah tali assist putus. Video itu tersebar di grup aplikasi Whatsapp dan berbagai platform media sosial.
Beruntung insiden itu tidak menelan korban serius, hanya melukai seorang operator head truck yang berada di bawah crane saat baja-baja raksasa penyangganya berjatuhan.
Jika kapal melenggang begitu saja, siapa yang akan mengganti rugi crane itu?
Setelah insiden di dermaga berhasil ditanggulangi, operasi terminal peti kemas bisa dilanjutkan kembali. Namun ternyata kehebohan tidak berhenti di sini karena kapal penubruk itu langsung ‘ngacir’ menuju Surabaya, sepertinya, tanpa diproses hukum sama sekali. Padahal, harga alat bongkar muat yang ia tabrak bernilai puluhan miliar rupiah.
Alat tersebut memang telah diasuransikan oleh empunyanya, PT Pelindo III (Persero). Tetapi, tetap saja yang merusak fasilitas harus bertanggung jawab menggantinya.
Syahbandar juga melepas kapal tersebut berlayar begitu saja, jadi hilang deh kesempatan minta uang pengganti.
Yang juga dibicarakan pascaperistiwa Tanjung Emas adalah tanggung jawab siapa sebenarnya bila kapal yang sedang dipandu dan ditunda mengalami kecelakaan atau insiden: nakhoda atau pilot?
Pertanyaan ini muncul karena MV Soul of Luck saat itu tengah dipandu oleh pilot. (Sebetulnya ini prosedur standar di setiap pelabuhan). Namun, ada fakta yang menarik, yaitu mesin kapal ternyata mati saat olah gerak dan tali assist putus. Kok, bisa ya?
Sebagai kapal yang beroperasi lintas samudra, tentulah mesin kapal tersebut dirawat dengan saksama sehingga setiap gejala kerusakan mesin dapat dideteksi sejak awal oleh awak kamar mesin.
Hal yang sama juga bisa diajukan atas putusnya tali kapal tunda. Kok, bisa putus?
Alangkah baiknya ada investigasi untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi karena pada tali kapal karena ia dibuat sangat kuat dengan bahan kelas satu; bukan kaleng-kaleng.
Sedikit soal tanggung jawab antara pilot dan nakhoda, walaupun pilot memegang kendali atas kapal ketika memasuki kolam dermaga/perairan wajib pandu tanggung jawab tetap ada di pundak nakhoda. Pilot hanyalah “kepanjangan tangan” nakhoda. Lagi, ini praktik yang lazim di dunia pelayaran.
Namun, ketika dana surplus akan dikembalikan kepada anggota dalam bentuk penurunan pembayaran call atau dikembalikan. Di sisi lain, perusahaan asuransi biasanya akan me-reasuransikan risiko yang mereka tanggung.
Protection and Indemnity (P&I)
Penulis tidak hendak membahas aspek teknis secara mendalam dalam karangan ini. Dari insiden Tanjung Emas ada satu hal yang menarik dicatat, yaitu praktik protection and indemnity (P&I)–perlindungan dan ganti rugi.
Kalangan pelayaran/kemaritiman nasional sudah lama mengenal P&I alias pandi, istilah yang umum dipergunakan oleh kalangan maritim mondial untuk jenis perlindungan terhadap kapal yang satu ini. Ada yang mengatakan istilah ini sudah lama dikenal sejak Indonesia merdeka. Hanya saja pelaku pelayaran Indonesia bergabung dengan klub-klub pandi luar negeri, terutama Inggris. Contohnya, TT Club, Thomas Miller dan lain sebagainya.
P&I bukanlah asuransi dan berbeda dengan asuransi karena beberapa hal.
Pertama, pada asuransi, dana yang dibayarkan oleh klien kepada perusahaan asuransi diistilahkan dengan premi. Sementara pada P&I ini disebut dengan call.
Kedua, perusahaan asuransi didirikan dan bertanggungjawab hanya kepada pemegang sahamnya, sedangkan P&I dibentuk dan bertanggungjawab kepada anggotanya. Maksudnya, dana yang dikumpulkan dari anggota akan dibayarkan kembali kepada mereka manakala terjadi insiden (mirip dengan arisan).
Ketiga, jika uang pertanggungan yang akan dibayarkan kepada anggota P&I yang terkena insiden tidak cukup, semua anggota akan diminta menambah kontribusi mereka.
Keempat, P&I biasanya menanggung risiko yang melibatkan kerugian pihak ketiga (non–navigational peril). Misalnya, kerusakan dermaga akibat olah gerak kapal, kerusakan lingkungan maritim akibat pencemaran yang dilakukan oleh kapal, dan lain sebagainya.
Sementara, asuransi mengurusi perlindungan yang bersifat lebih terkuantifikasi seperti lambung dan permesinan
kapal –hulland machinery– dan asuransi barang yang diangkut kapal termasuk war risk.
Sependek pengetahuan penulis, praktik pandi di Indonesia dilakukan oleh asuransi. Ada risiko dari kondisi ini. Karena dikelola oleh asuransi di mana mereka bertanggungjawab kepada pemegang sahamnya, bukan kepada anggota seperti pada model klub, jika tidak terjadi klaim, maka dana tidak akan dikembalikan kepada shipowner, melainkan dikuasai oleh asuransi dan jumlahnya lumayan besar.
Hitungannya begini. Diasumsikan besar asuransi P&I Rp 90 juta/kapal dan jumlah kapal berbendera Indonesia yang layak mendapat perlindungan pandi sekitar 2.000 unit.
Manakala tidak ada klaim, akan terhimpun dana Rp 180 miliar di tangan pihak asuransi.
Kembali ke kasus MV Soul of Luck. Hampir dapat dipastikan kapal ikut skema P&I, sehingga kerugian yang didera Pelindo III akibat container crane-nya roboh bisa ditanggulangi terlepas bahwa aset tersebut telah di-cover oleh asuransi.
Secara umum, proses mengklaim P&I tidak memerlukan penahanan kapal yang merusak properti milik claimant. Karenanya, keputusan Syahbandar pelabuhan Tanjung Emas mengizinkan MV Soul of Luck melanjutkan perjalanan ke Surabaya bisa dipahami.
Proses meminta ganti rugi bisa dilakukan oleh kuasa hukum masing-masing pihak yang terlibat. Menahan kapal oleh otoritas negara pelabuhan haruslah dengan pertimbangan yang sangat mendalam soalnya kapal yang akan ditahan hanya tunduk kepada jurisdiksi negara benderanya.
Lihatlah krisis antara Iran dan Inggris yang saat ini tengah berlangsung seru. Semuanya berawal dari penahanan kapal. Inggris menahan tanker Iran, Grace I, di Gibraltar, karena dinilai kapal ini mengangkut minyak Iran dengan tujuan Suriah.
Ini pelanggaran atas sanksi yang dijatuhkan kepada Iran oleh komunitas internasional.
Iran membalas aksi Negeri Tiga Singa itu dengan mencekal tanker Stena Impero di Selat Hormuz.
Alasannya, tanker ini mematikan automatic identification system (AIS) yang ada di atas kapal dan tidak mengindahkan peringatan otoritas Negeri Mullah, sebuah pelanggaran yang bisa membahayakan navigasi di Selat Hormuz.
Kini, perseteruan kedua negara bereskalasi hingga ke rencana membentuk satgas angkatan laut internasional di selat sibuk itu. Jadi, jangan sembarangan menahan kapal negara lain. (cnbcindonesia)
Discussion about this post