[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Meskipun menjadi pasar terbesar di Asia Tenggara, Indonesia masih belum mampu memikat investor secara maksimal. Potensi besar itu tertutupi bayang-bayang rumitnya proses membuka usaha di negara yang pada periode 2014-2018 lalu mencetak pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen tersebut.
Di laporan terbaru Bank Dunia berjudul Doing Business 2020, Indonesia tidak mampu meraih posisi lima besar negara dengan kemudahan berusaha di kawasan Asia Tenggara. Tak heran, walau Indonesia disebut-sebut menjadi salah kekuatan ekonomi paling besar secara pendapatan domestik bruto (PDB) di Asia Tenggara, perekonomiannya tumbuh lebih lambat dibanding negara-negara tetangganya.
Indonesia tahun ini kembali menjadi satu dari 190 negara yang disurvei oleh Bank Dunia terkait memberikan kemudahan berusaha. Hasilnya, Indonesia menempati urutan ke-73. Dari 10 topik yang dinilai, menurut Bank Dunia, ketertinggalan Indonesia setidaknya ada pada lima topik. Kelimanya adalah Memulai Usaha, Perizinan Konstruksi, Pendaftaran Properti, Perdagangan Lintas Batas, dan Penegakan Hukum terhadap Kontrak.
Peringkat ini menunjukkan bahwa pelayanan berbisnis di Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain di Asia Tenggara, khususnya Singapura, Malaysia, dan Thailand. Ketiga negara tetangga ini masuk dalam daftar 30 besar negara dengan peringkat Kemudahan Berusaha tertinggi di dunia. Sementara, Brunei Darussalam dan Vietnam sedikit lebih terdepan dibanding Indonesia.
|
Ketertinggalan ini tak lepas dari urusan perizinan yang berbelit dan tumpang tindih, serta aturan ketenagakerjaan yang terlalu mengekang pertumbuhan usaha. Aspek-aspek inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah jika ingin bersaing dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Perubahan birokrasi secara besar-besaran, termasuk memangkas tahapan dan syarat perizinan yang tak jelas manfaatnya, diperlukan untuk mempercepat gerak dan memperluas ruang perkembangan bisnis.
Capaian Indonesia ini sayangnya masih jauh dari ekspektasi Presiden Joko Widodo yang menginginkan posisi 40 besar pada periode ini. Alih-alih mencapai target, posisi Indonesia mandeg di urutan ke-73 sama seperti capaian di survei Bank Dunia periode 2017/2018. Di periode survei setahun sebelumnya, Indonesia ada di peringkat ke-72. Posisi yang masih bertengger di kisaran yang sama ini menunjukkan bahwa pemerintah belum melakukan reformasi bisnis yang berarti untuk menciptakan iklim bisnis yang menggoda bagi para investor.
Contohnya saja, proses perizinan konstruksi masih panjang dan lama. Sejak survei Bank Dunia periode 2016/2017 hingga yang terbaru atau 2018/2019, pengurusan izin konstruksi di Indonesia masih memakan waktu yang lama, yaitu rata-rata 200 hari. Prosedur yang diharuskan pun masih panjang. Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia menyebut dibutuhkan rata-rata 18 prosedur untuk mengurus izin pembangunan di Indonesia. Di dua periode sebelumnya, prosedur ini hanya mampu ditekan sedikit menjadi 17. Tak heran, dalam hal perizinan konstruksi, Indonesia bahkan tak menembus posisi 100 besar. Dalam periode terbaru ini, peringkat perizinan konstruksi Indonesia berada di 112.
Rumitnya membuka usaha di Indonesia ini tentunya berimbas pada laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Meski stabil di kisaran 5 persen, pertumbuhan ekonomi Indonesia kalah melesat dibanding perekonomian tetangga Thailand dan Vietnam, yang sama-sama dikategorikan sebagai negara dengan pendapatan menengah. Dalam tiga tahun terakhir atau 2015-2018, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung lambat di angka 1.9 persen dibanding Thailand dan Vietnam yang dapat mencetak capaian masing-masing 32.2 persen dan 6 persen.
Thailand dan Vietnam sendiri saat ini menjadi dua dari lima besar negara dengan pelayanan berbisnis terbaik di kawasan Asia Tenggara. Periode kali ini, Singapura kembali duduk di posisi ke-2 sehingga untuk tiga tahun berturut-turut, negara Merlion ini memimpin tak hanya di kawasan Asia Tenggara tapi juga di dunia. Malaysia naik dari posisi 15 ke 12 dan begitu pun Thailand, yang melompat dari 27 ke 21. Sementara, Brunei Darussalam dan Vietnam masing-masing merosot ke posisi 66 dan 70 dari sebelumnya 55 dan 69.
Meski begitu, Malaysia paling terdepan di Asia Tenggara dalam mereformasi alur izin pembangunan hingga Negeri Jiran ini dinilai pantas berada di peringkat ke-2 dunia pada indikator perizinan konstruksi. Dalam laporan Doing Business 2020, Bank Dunia mencatat bahwa saat ini terdapat rata-rata 9 prosedur dengan 41 hari pengurusan untuk mendapatkan izin konstruksi. Hal ini tentu merupakan sebuah perbaikan dari 11 prosedur dan 54 hari pengurusan di survei 2017/2018. Sedangkan di periode sebelumnya, perolehan izin mendirikan konstruksi membutuhkan 14 prosedur dengan lama pemrosesan 78 hari.
Untuk diketahui, dalam laporan Bank Dunia sebelumnya, Malaysia memang mendapat pujian atas 6 reformasi kebijakan bisnisnya yang mengantar negara tersebut ke posisi sebelumnya, yaitu peringkat 15. Salah satu kebijakannya adalah terkait penyederhanaan alur perizinan konstruksi.
Indonesia juga pernah mendapat pujian serupa di awal pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama. Kala itu, di tahun 2015, Indonesia mampu melambungkan posisinya dari 120 ke 106. Setahun berikutnya, Indonesia kembali menanjak ke peringkat 91 hingga duduk di titik terbaiknya pada tahun 2017 di posisi ke-92. Posisi Indonesia dapat didompleng setelah pemerintah mengeluarkan 16 paket deregulasi antara lain terkait penerapan online single submission untuk mempermudah izin usaha, insentif untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), layanan investasi tiga jam, perluasan tax allowance dan tax holiday, dan relaksasi daftar negatif investasi. Sayangnya, reformasi kebijakan itu hanya mampu mengantarkan Indonesia ke peringkat-72 sebelum akhirnya kini bergeser ke-73.
Tak hanya paket kebijakan yang tak lagi menggiurkan bagi para investor, potensi pasar Indonesia pun redup tertutupi dengan kakunya regulasi terkait ketenagakerjaan dan upah minimum pekerja. Bank Dunia dalam laporan terbarunya mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara di kategori berpendapatan menengah ke bawah yang menerapkan regulasi mengikat terkait hal tersebut. Akibatnya, ruang gerak pebisnis untuk mengembangkan usahanya pun sangat terbatas.
Padahal, peraturan ketenagakerjaan seringkali menjadi insentif menggiurkan bagi sebuah perusahaan untuk masuk dan bertahan, maupun keluar dari pasar di sebuah negara. Hal ini tentunya berdampak pada ketersediaan peluang kerja dan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.
Fakta ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk bangun dari buaian reformasi paket kebijakan di awal pemerintahan Presiden Jokowi tersebut. Pemerintah harus bergegas kembali membuat perubahan yang lebih sesuai dan efektif dengan memperhitungkan dampak pada iklim bisnis. Kebijakan-kebijakan yang dinanti ini tak hanya akan mendongkrak posisi Indonesia di peringkat Kemudahan Berbisnis, namun juga memaksimalkan potensi pasar Indonesia yang amat besar serta memecut laju pertumbuhan ekonomi.
|
(cnbcindonesia)
Discussion about this post