[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja terus memanen dinamika di tengah masyarakat sejak diluncurkan. Terbaru adalah isu salah ketik. Ihwal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, menyusul ditemukannya kejanggalan dalam Pasal 170 yang menyatakan bahwa ketentuan dalam Undang-undang bisa diubah menggunakan Peraturan Pemerintah (PP).
Menyikapi hal itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menyebut “isi UU diganti dengan PP, diganti dengan Perpres itu tidak bisa. Mungkin itu [Pasal 170 Bab XIII Omnibus Law Cipta Kerja] keliru ketik,” katanya.
Pernyataan itu langsung menjadi viral di media sosial dan merupakan salah satu topik berita yang cukup hangat bagi media arus utama hingga saat ini. Tetapi, saya tidak hendak membahas polemik tersebut.
Sebelum masalah salah ketik yang heboh itu muncul ke permukaan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan pernah mengungkapkan bahwa pemerintah berupaya membentuk coast guard (institusi penjaga laut dan pantai) Indonesia lewat Omnibus Law.
Berbekal softcopy draf RUU Cipta Kerja, saya mencoba menelusurinya. Sayang, apa yang disampaikan oleh opung (panggilan akrab sang menteri dalam Bahasa Batak yang berarti kakek) tidak ditemukan.
|
Malah saya menemukan isu-isu kemaritiman lainnya. Topik-topik inilah yang ingin dikomentari dalam artikel ini.
Pertanyaannya, apa saja sih masalah yang ada dalam bidang kemaritiman sehingga diperlukan undang-undang sapu jagat Omnibus Law untuk mentorpedonya agar bisa menciptakan lapangan kerja? Tidak cukupkah aturan yang ada dalam mendukung pelaku usaha di sektor kemaritiman?
Isu Kemaritiman
Isu-isu kemaritiman yang masuk ke dalam RUU Cipta Kerja (ketika masih bernama RUU Cipta Lapangan Kerja publik menyingkatnya menjadi RUU Cilaka dan masih demikian yang berlaku di masyarakat) mencakup beberapa hal seperti kepelabuhanan, pelayaran, kepelautan dan lain-lain.
Akan sangat panjang penjelasannya bila seluruh pasal yang terkait dengan topik-topik tersebut diurai dalam artikel yang terbatas ini. Karenanya, hanya disebut saja pasal-pasal yang akan disapu oleh bakal undang-undang itu.
Dalam softcopy yang ada, jumlah halaman RUU Cipta Kerja lebih dari 1.000. Sesuai dengan sifatnya yang omnibus, pasal-pasal yang ada di dalamnya berisi amar menghapus atau, paling tidak, merubah redaksional undang-undang yang menjadi sasarannya. Ada puluhan undang-undang yang terkena tembakan ‘rudal’ aturan ini. Tulisan ini fokus kepada UU Nomoro 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Dari sisi tubuh/arsitektur undang-undang, isu kepelabuhanan, pelayaran, kepelautan, dan lainnya (kemaritiman) yang terdapat dalam UU Pelayaran ditempatkan pada Bab III tentang Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha. Di bawahnya, terdapat Bagian ke-IV yang diberi judul Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan dan Persyaratan Investasi. Lalu, ada paragraf dan di bawahnya selanjutnya ada pasal.
Topik kepelabuhanan, pelayaran dan kepelautan diplot pada Paragraf 10 tentang Transportasi. Adapun topik terkait kemaritiman lainnya, yakni Kelautan dan Perikanan, terdapat di Paragraf 2.
Lantaran Paragraf 10 menyangkut sektor Transportasi secara keseluruhan, selain mentorpedo/mengubah redaksional UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang memuat pengaturan isu kepelabuhanan, kepelautan, pelayaran dan sebagainya, RUU Cipta Kerja juga menyasar UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Khusus untuk UU Pelayaran 2008, Pasal 59 RUU Omnibus Law mengubah Pasal 5, menyisipkan Pasal 8A, mengubah ketentuan-ketentuan Pasal 9, Pasal 13, Pasal 27 dan Pasal 28, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 51, Pasal 59, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 96, Pasal 129, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 111, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 130, Pasal 133, Pasal 155, Pasal 158, Pasal 163, Pasal 168, Pasal 169, Pasal 170, Pasal 171, Pasal 197, Pasal 204.
Pasal 213 juga diubah. Demikian pula Pasal 225, Pasal 243, Pasal 273, Pasal 282, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, Pasal 296, Pasal 297, Pasal 298, Pasal 299, Pasal 307, Pasal 308, Pasal 310, Pasal 313, Pasal 314, Pasal 321, Pasal 322, Pasal 336. Sementara itu, pasal-pasal yang dihapus mencakup Pasal 30, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 97, Pasal 127, Pasal 156, Pasal 157. RUU “Cilaka” juga menghapus Pasal 159, Pasal 161 dan Pasal 162.
Apa sasaran ‘tembaknya’?
Ada beberapa catatan yang bisa diketengahkan di sini terkait “tembakan” yang dilancarkan oleh RUU Cipta Kerja terhadap UU 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Pertama, siapa pun yang mengusulkan ‘tembakan’ itu dapat dipastikan dia/mereka tidak paham sejarah lahirnya UU Pelayaran. Bila semangat liberalisme yang ingin dicangkokkan ke dalam sektor kemaritiman nasional melalui omnibus law, aturan main yang ada saat ini sudah amat liberal kok.
Saking liberalnya, bisnis kepelabuhanan domestik misalnya, sudah amat terbuka bagi kalangan swasta. Bahkan, mereka yang hanya bermodalkan secarik kertas yang menyatakan sebagai badan usaha pelabuhan (BUP) bisa buka lapak dengan relatif mudah.
Di AS, sektor pelabuhan tertutup bagi investor asing karena alasan keamanan nasional. Dan, 14 tahun yang lalu, ketika Dubai Port World asal Dubai, UEA, ingin mengelola enam pelabuhan besar di Negeri Paman Sam, Kongres AS pun menolak mentah-mentah niatan itu. Sekadar mengingatkan, pemain asing berusaha dengan aman damai di Indonesia. Jadi, mau seberapa mudah lagi sektor usaha yang satu ini ingin digenjot oleh RUU Cipta Kerja?
Dengan adanya Omnibus Law ini, ternyata keliberalan UU Pelayaran makin diliberalkan lagi bagi asing. Mau bukti? Lewat Omnibus Law ini, pemerintah berniat membuka kesempatan kepada asing untuk menjadi pemilik mayoritas perusahaan pelayaran yang mengoperasikan kapal di perairan Indonesia.
Caranya, dengan mengubah Pasal 158 ayat 2 UU Pelayaran. Perubahan tersebut sangat radikal. Di UU Pelayaran, kapal yang bisa didaftarkan di Indonesia adalah:
a. Kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7 (tujuh Gross Tonnage);
b. Kapal milik warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
c. Kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.
Foto: UU Pelayaran dan RUU Ciptaker
|
Pasal 158 huruf c adalah ruhnya dari asas cabotage. Asas ini bermakna kewajiban kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.
Akan tetapi, di dalam RUU Omnibus Law, Pemerintah menghilangkan ayat 2 huruf c tersebut sehingga berdasarkan RUU tersebut, kapal milik perusahaan hasil joint venture dengan kepemilikan mayoritas asing bisa didaftarkan di Indonesia.
Perubahan ini akan menjadi kabar mengerikan bagi industri pelayaran nasional dan prinsip cabotage menjadi sangat lemah. Padahal cabotage adalah prinsip yang berlaku pada negara-negara pantai seperti China, Kanada, Brazil, Amerika Serikat dan sebagainya.
Dampaknya akan sangat dahsyat. Di sektor pelayaran, dapat dipastikan akan banyak perusahaan angkutan laut nasional yang gulung tikar karena kapal-kapalnya tidak akan mampu bersaing dengan kapal milik perusahaan luar negeri yang masuk ke Indonesia menjadi pemain angkutan laut domestik melalui usaha joint venture.
Jika ini dibiarkan terjadi, dampak ekonominya sangat besar. Tidak sedikit bank yang akan gulung tikar karena NPL (Non Performing Loan) dari pembiayaan di sektor perkapalan menjadi bermasalah atau meningkat karena kapal yang dibiayai tidak akan mampu lagi membayar cicilan.
Oleh karena itu, Pemerintah harus mengembalikan pasal 2 huruf c di mana kapal yang bisa didaftarkan di Indonesia antara lain adalah kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.
Kedua, rancangan undang-undang tersebut banyak mengatur hal-hal yang amat teknis. Urusan tetek bengek begitu sejatinya tidak perlulah diatur dengan UU, cukup melalui aturan setingkat di bawah UU, yaitu PP.
Aturan teknis yang jauh lebih penting malah luput. RUU Ciptaker (singkatan yang lebih lembut dibanding singkatan Cilaka) yang sudah beredar luas di masyarakat, tidak ada menyinggung sedikit pun soal upah minimum untuk pelaut di dalam negeri.
Upah minimum untuk pelaut tak terselesaikan perumusannya selama ini karena pemangku kepentingan (khususnya kementerian dan pengusaha pelayaran) enggan membahasnya karena berbagai alasan. RUU Omnibus Law diharapkan bisa menembus kebuntuan ini. Eh, isu upah minimum sektoral untuk pelaut tempatan yang ada malah tidak dicolek.
Ketiga, RUU Ciptaker tetap mempertahankan hegemoni pemerintah pusat (Kementerian Perhubungan) dalam mengurusi sektor kepelabuhanan di daerah.
Di satu sisi, urusan kepelabuhanan sebenarnyasudahdiotonomikan, hanya saja UU Pelayaran 2008 tidak menyerahkannya kepada pemerintah daerah dengan sepenuh hati selama ini. Masalah ini seharusnya ditorpedo oleh RUU Omnibus Law. Lagi-lagi, hal ini tidak disentuh, yang ada hampir semua isu kemaritiman malah ditarik ke pusat. (cnbcindonesia)
Discussion about this post