KeuanganNegara.id- Lembaga keuangan China menyediakan dana pembiayaan ‘hijau’ berbasis lingkungan senilai 7,4 miliar yuan atau setara Rp15,6 triliun. Dana itu disebut-sebut akan mendanai proyek-proyek batu bara pada semester I 2019.
Dikutip dari Reuters, tinjauan data keuangan menunjukkan bahan bakar fosil masih memainkan peran utama dalam strategi energi Beijing.
Menurut Wind, penyedia data keuangan yang berbasis di Shanghai, obligasi korporasi dan perbankan berbasis lingkungan senilai 7,4 miliar yuan (US$ 1,1 miliar) diterbitkan untuk mendanai 13 proyek batu bara pada semester pertama tahun ini. Mereka melibatkan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara atau metana batu bara, serta proyek batu bara menjadi kimia.
Selama ini, upaya utama China untuk mengurangi asap dan gas rumah kaca ialah memangkas penggunaan batu bara dan mendorong bahan bakar energi yang lebih bersih. Porsi batu bara dalam campuran energi total Negeri Tirai Bambu kini turun menjadi hanya 59 persen pada 2018, dari kisaran 68,5 persen pada 2012 lalu.
Pada 2030 mendatang, China bahkan berambisi memangkas kembali porsi batu bara dari total bahan bakar pembangkit listriknya menjadi hanya sekitar 50 persen.
Kendati porsi batu bara sebagai bahan bakar pembangkit menurun, namun kapasitas secara keseluruhan masih tumbuh. China juga perlu meningkatkan tambang dan pabrik yang sudah ada. Jadi, ketika banyak lembaga keuangan global meyakini mereka tidak akan lagi mendanai proyek batu bara, pelaku usaha asal China tidak mengikuti keyakinan tersebut.
Climate Bonds Initiative (CBI), kelompok nirlaba yang mempromosikan standar obligasi hijau global menyebutkan 25 persen lebih dari obligasi hijau yang diterbitkan di China gagal memenuhi kriteria internasional pada tahun lalu.
Awal tahun ini, regulator China sebenarnya berencana untuk merancang standar baru guna mencegah proyek batu bara mengeluarkan obligasi hijau untuk membawa bangsa lebih sesuai dengan norma-norma global.
China Energy News, media yang dikelola oleh surat kabar milik Partai Komunis People’s Daily melaporkan bahwa lebih dari 80 persen dana energi terbarukan pemerintah pusat tahun ini digunakan untuk mendanai bahan bakar fosil seperti metana batu bara dan gas serpih pada tahun 2018.Namun, langkah tersebut telah ditentang oleh badan perencanaan negara, yakni Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional. Menurut komisi, pendanaan masih diperlukan untuk teknologi emisi ultra-rendah dan mengembangkan aliran pengolahan batu bara yang lebih bersih, seperti bahan kimia batu bara dan metana batu bara.
“Batu bara jelas tidak pernah hijau,”kata Liu Junyan, Juru Kampanye Senior Iklim dan Energi Greenpeace Asia Timur seperti dikutip Reuters, Senin (19/8).
Dia menambahkan, tujuan untuk mengembangkan teknologi batu bara bersih seharusnya adalah upaya mengatasi risiko lingkungan yang ditimbulkan oleh industri batu bara. Namun, untuk beberapa metode ini, risiko ‘batu bara bersih’ bahkan lebih besar daripada masalah aslinya.
China juga menyetujui kapasitas penambangan batu bara tahunan baru sebesar 141 juta ton pada paruh pertama tahun ini. Angka itu jauh lebih besar dibanding kapasitas penambangan batu bara tahunan pada 2018 yang secara keseluruhan sebesar 25 juta ton.
Kelompok industri memprediksi akan ada lebih banyak pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang dibangun di masa mendatang. Total kapasitas tenaga batu bara memuncak pada 1.300 gigawatt, yang berarti 290 GW lain dapat beroperasi. (cnn)
Discussion about this post