KeuanganNegara.id- Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menegaskan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dibayarkan peserta selama ini tidak sesuai dengan hitung-hitungan aktuaria. Karenanya, ia membenarkan evaluasi besaran tarif iuran memang sedang dilakukan.
Hitungan aktuaria yang dimaksud ialah pengelolaan risiko keuangan di masa yang akan datang. Sederhananya, iuran yang dipungut masih jauh risiko yang harus ditutup oleh BPJS Kesehatan. Contoh, iuran peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) kelas III dipatok Rp25.500. Padahal, hitungan aktuarianya sebesar Rp36 ribu.
Kemudian, Fachmi melanjutkan, iuran kelas II sebesar Rp51 ribu. Padahal, hitungan aktuarianya mencapai Rp63 ribu. “Jadi, jangan seolah-olah pemerintah menaikkan iuran. Tapi, sampai saat ini memang tidak sesuai dengan hitungan saja,” ujarnya di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.
Memang, ia melanjutkan sudah cukup lama pemerintah tidak menyesuaikan iuran BPJS Kesehatan. Terakhir, penyesuaian iuran dilakukan pada 2016, di mana iuran peserta kelas I per bulan berubah dari Rp59.500 ke Rp80 ribu, kelas II berubah dari Rp42.500 ke Rp51 ribu, dan kelas III tidak disesuaikan.
“Ini semua hitungannya masih hitungan aktuaria 2015 dan 2016, dan selama ini juga iuran ini berdasarkan hitungan diskon. Ini yang selama ini menjadi masalah utama mismatch antara pendapatan dan pengeluaran,” terang Fachmi.
Hanya saja, ia mengatakan penyesuaian iuran ini tidak hanya mementingkan hitungan aktuaria semata. Namun, ada perhitungan lain yang sejatinya juga akan dimasukkan sebagai variabel formulasi. Salah satunya adalah hitung-hitungan mengenai kebutuhan dasar kesehatan.
Sayangnya, ia enggan menyebut kapan tepatnya penyesuaian iuran dilakukan. “Tunggu tanggal mainnya saja,” jelas dia.
Sebelumnya, Wakil Presisden Jusuf Kalla mengatakan penyesuaian iuran BPJS Kesehatan telah dibahas di rapat terbatas di Kompleks Istana Presiden yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo, Senin (29/7) lalu. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan defisit arus kas yang mendera BPJS Kesehatan selama ini.
“Prinsipnya kami setuju, namun perlu pembahasan lebih lanjut. Pertama, kami setuju untuk menaikkan iuran,” tutur JK kala itu.
Defisit arus kas memang jadi penyakit menahun bagi BPJS Kesehatan. Berdasarkan data BPJS Kesehatan bahkan langsung tekor Rp3,3 triliun di tahun pertamanya pada 2014 dan membengkak Rp5,7 triliun setahun kemudian.
Tren ini berulang pada 2016 dan 2017, di mana BPJS Kesehatan masing-masing mencatat defisit Rp9,7 triliun dan Rp9,75 triliun. Terakhir, sesuai audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), BPJS Kesehatan masih juga bolong Rp9,1 triliun, meski angka ini di bawah perkiraan awal, yakni Rp10,98 triliun.
Discussion about this post