KeuanganNegara.id- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan agar iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri kelas 1 dan 2 bisa dinaikkan sampai dengan 100 persen dan kelas 3 sebesar 65 persen. Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti pada Minggu (8/9) diketahui usulan kenaikan tinggi disampaikan untuk mengimbangi klaim yang dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk membiayai perawatan peserta golongan tersebut.
Catatan Kementerian Keuangan, total iuran peserta mandiri kelas tersebut hanya Rp8,9 triliun. Namun, total iuran tersebut berbanding dengan jumlah klaim perawatan.
Pasalnya, total klaim mencapai Rp27, 9 triliun pada periode yang sama. Dengan kata lain, rasio klaim peserta mandiri kelas tersebut mencapai 313 persen dari iuran mereka. Nufransa mengatakan dengan jumlah klaim sebesar itu, harusnya usulan kenaikan iuran peserta golongan tersebut bisa melebihi 300 persen.
Tapi katanya, Sri Mulyani tidak mengajukan usulan kenaikan tersebut. Tapi, usulan kenaikan yang disampaikan Kementerian keuangan hanya 100 persen untuk kelas 1 dan 2 dan 65 persen untuk kelas 3.
“Intinya adalah pemerintah sangat memperhitungkan agar kenaikan iuran tidak sampai memberatkan masyarakat dengan berlebihan,” katanya seperti dikutip dari akun facebooknya, Minggu (8/9).
Sebagai informasi, pemerintah memang tengah berencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan kenaikan akan diberlakukan awal 2020 mendatang.
Adapun besaran kenaikan akan dilakukan sesuai dengan yang diusulkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sri Mulyani saat Rapat Gabungan antara pihak pemerintah dengan Komisi IX dan XI DPR mengusulkan agar iuran kepesertaan BPJS Kesehatan untuk golongan mandiri I naik dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per orang per bulan dan kelas mandiri naik dari Rp51 ribu per bulan menjadi Rp110 ribu.
Nufransa juga mengatakan usulan kenaikan pun tidak diambil dengan asal. Usulan kenaikan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi keuangan BPJS Kesehatan. Sebagai informasi, kondisi keuangan BPJS Kesehatan sejak pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional memang selalu mengalami defisit.
Data Kementerian Keuangan, sebelum memperhitungkan intervensi pemerintah baik dalam bentuk PMN (Penanaman Modal Negara) maupun bantuan APBN, besaran defisit JKN masing-masing Rp1,9 triliun (2014), Rp9,4 triliun (2015), Rp6,7 triliun (2016), Rp13,8 triliun (2017), dan Rp19,4 triliun (2018).
Dalam rangka mengatasi defisit JKN itu, Pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk PMN sebesar Rp5 triliun (2015) dan Rp6,8 triliun (2016) serta bantuan dalam bentuk bantuan belanja APBN sebesar Rp3,6 triliun (2017) dan Rp10,3 triliun (2018). Defisit salah satunya disebabkan oleh penerimaan iuran yang tidak sebanding dengan pengeluaran untuk biaya perawatan.
Nufransa mengatakan tanpa dilakukan kenaikan iuran, defisit BPJS Kesehatan bisa terus meningkat. Perhitungan Kementerian Keuangan defisit bisa mencapai Rp32 triliun di tahun 2019, dan meningkat menjadi Rp44 triliun pada 2020 dan Rp56 triliun pada 2021.
“Dalam rangka menjaga keberlangsungan program JKN, maka kenaikan iuran itu memang diperlukan. Jangan sampai program JKN yang manfaatnya telah dirasakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia terganggu keberlangsungannya,” kata Nufransa. (cnn)
Discussion about this post