KeuanganNegara.id- Firma konsultan global, McKinsey & Co menerbitkan laporan sembilan halaman berjudul “Signs of Stress in The Asian Financial System”. Lewat laporan tersebut, McKinsey memperingatkan negara-negara Asia Pasifik agar mewaspadai terulangnya krisis ekonomi dan krisis utang Asia yang pernah terjadi pada 1997 silam.
“Saat ini, media di bidang keuangan dan pengamat mempertanyakan apakah kenaikan level utang di Asia bisa memicu terjadinya krisis baru? Sayangnya, tanda-tandanya semakin memburuk,” demikian keterangan dalam laporan yang terbit pada Agustus 2019 ini. Laporan ditulis oleh Senior Partner McKinsey Singapura, Joydeep Sengupta, dan senior expert McKinsey, Archana Seshadrinathan
McKinsey mencatat, ada tiga kondisi fundamental yang mengalami tekanan di negara-negara Asia. Pertama, di sektor riil, perusahaan-perusahaan di kawasan ini dalam kondisi yang sulit untuk memenuhi kewajiban utang mereka. Di Australia dan Korea Selatan, utang-utang ini telah menumpuk ke level yang cukup tinggi.
Kedua, sistem keuangan di Asia menunjukkan kerentanan, terutama di negara-negara berkembang. Mereka sangat bergantung kepada perbankan dan lembaga-lembaga shadow banking, untuk memperoleh pinjaman. Ketiga, arus modal yang terus masuk ke kawasan Asia telah menciptakan porsi yang lebih besar pada moda dari luar. “Apakah kondisi ini memicu terjadinya krisis, masih harus dilihat,” tulis laporan ini.
McKinsey kemudian menampilkan hasil pemantauan mereka terhadap neraca keuangan dari 23 ribu perusahaan di sebelas negara Asia Pasifik. Ternyata, terdapat 32 persen dari utang perusahaan di Indonesia dengan interest coverage ratio (ICR) kurang dari 1,5. ICR merupakan indikator kemampuan sebuah perusahaan untuk membayar bunga utang. Dalam kondisi ini, perusahaan pun harus menggunakan sebagian besar dari pendapatan mereka untuk membayar utang.
Lantas, perusahaan apa saja yang masuk dalam kriteria ini? Di Indonesia, 62 persen merupakan utility company alias perusahaan yang bergerak di layanan jasa seperti listrik, gas alam, dan air. Kemudian, 11 persen dari perusahaan energi, 10 persen dari perusahaan material, dan 2 persen dari perusahaan real estate.
Walau demikian, Bank Indonesia (BI) menyebut utang luar negeri Indonesia pada akhir triwulan II 2019 masih terkendali dengan struktur yang sehat. Jumlahnya sebesar US$ 391,8 miliar dengan proporsi US$ 195,5 miliar utang pemerintah dan US$ 196,3 miliar utang swasta, termasuk BUMN. Bahkan, utang swasta dan BUMN ini tumbuh melambat 11,4 persen year-on-year (yoy) pada periode tersebut. “Perlambatan utang swasta terutama disebabkan oleh meningkatnya pembayaran pinjaman oleh korporasi,” tulis pihak BI, pada 15 Agustus 2019.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mengatakan akan mempelajari peringatan McKinsey akan ancaman krisis ekonomi itu. “Kalau ada laporan-laporan seperti itu, kami akan melihat apakah berbeda dari sisi bacaannya, dari kami,” kata dia saat ditemui usai acara peluncuran Modul Penerimaan Negara (MPN) Generasi Ketiga di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta Pusat, Jumat, 23 Agustus 2019. (msn)
Discussion about this post