Oleh M Ameer Noor, pegawai Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau
Kondisi utang pemerintah Indonesia yang dikatakan membengkak telah menciptakan pandangan negatif di kalangan masyarakat. Beberapa media bahkan melansir bahwa Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat utang. Peningkatan anggaran infrastruktur yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan malah dianggap menjadi akar dari permasalahan utang ini.
Per 31 Agustus 2017, total utang pemerintah Indonesia sebesar Rp3.825,80 triliun dengan 41,15% merupakan utang dalam mata uang asing. Sekilas nilai tersebut terlihat sangat besar, namun sebetulnya nilai tersebut masih sangat wajar mengingat Indonesia merupakan anggota G-20 (20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia).
Untuk melihat tingkat utang pemerintah suatu negara secara objektif maka digunakan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau Debt to GDP Ratio. PDB atau GDP merupakan nilai produksi final ekonomi suatu negara dalam periode tertentu (dalam konteks Debt to GDP Ratio, yang digunakan ialah GDP periode tahunan). Sementara itu, penerimaan pajak yang nantinya akan menjadi sumber utama pembayaran utang, juga ditarik dari nilai ekonomi suatu negara yang direpresentasikan dengan GDP.
Oleh karena itu, nilai Debt to GDP Ratio ini bisa menjadi indikator yang sangat baik apakah suatu negara mampu melunasi utangnya atau tidak di masa depan. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, mencatat nilai PDB Atas Dasar Harga Berlaku (PDB ADHB) atau GDP Nominal Indonesia pada tahun 2016 sebesar Rp12.406,80 triliun. Dari data utang dan GDP tersebut, nilai Debt to GDP Ratio Indonesia sekitar 30,83%. Apabila diasumsikan risiko terbesar utang berasal dari utang dalam mata uang asing, nilai utang dalam mata uang asing pemerintah Indonesia sebesar Rp1.574,32 triliun atau sekitar 12,69% dari GDP. Perhitungan normal Debt to GDP Ratio menggunakan PDB pada tahun yang bersamaan (dalam hal ini seharusnya PDB tahun 2017) yang sudah mengalami pertumbuhan sehingga nilai Debt to GDP Ratio Indonesia saat ini sudah lebih rendah dari estimasi tersebut.
Bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Debt to GDP Ratio Indonesia masih terbilang rendah. Hal ini tercermin dalam data IMF yang mencatat nilai Debt to GDP Ratio Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Filipina secara berturut-turut sebesar 111,02%, 55,47%, 36,54%, 52,09%, 47,52%, dan 41,92%.
Debt to GDP Ratio Indonesia juga relatif masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara ekonomi terbesar lainnya (G-20). Nilai Debt to GDP Ratio Amerika Serikat, China, Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, dan Turki yang secara berturut-turut sebesar 106,71%, 65,68%, 237,92%, 81,96%, 84,86%, 90,29%, dan 35,01% sebagaimana tercatat dalam data IMF.
Perspektif lain yang sering dikemukakan untuk melihat besarnya utang Indonesia yakni nilai utang yang harus ditanggung oleh setiap warga negara Indonesia (WNI) saat ini, seperti pernah dilansir oleh media CNN Indonesia (17/04/2017). Per tahun 2016, World Bank mengestimasikan bahwa populasi Indonesia telah mencapai 261,1 juta orang. Bila dikaitkan dengan data utang sebelumnya, maka setiap WNI harus menanggung utang negara sebesar Rp14,65 juta per orang, termasuk bayi-bayi yang baru lahir.
Perspektif tersebut memberikan gambaran cukup mencengangkan bagi masyarakat. Hal ini mengingat anak-anak yang belum bekerja saja sudah harus menanggung utang dengan nominal sebesar itu. Namun demikian, untuk memberikan gambaran yang lebih adil mengenai kemampuan orang Indonesia untuk menanggung utang tersebut, nilai kekayaan orang Indonesia dapat menjadi proxy atau indikator yang mewakili.
Jakarta Globe (01/06/2016) melansir data 150 orang terkaya Indonesia berdasarkan data dari Globe Asia, dengan total kekayaan mencapai US$156,81 miliar. Bila diukur dengan asumsi kurs sebesar Rp13.500/US$, diperkirakan total kekayaan tersebut mencapai Rp2.116,94 triliun. Dikaitkan dengan data utang (Rp3.825,80 triliun) atau utang dalam mata uang asing (Rp1.574,32 triliun) pemerintah Indonesia, maka total kekayaan 150 orang saja sudah mampu melunasi lebih dari setengah utang pemerintah atau bahkan seluruh utang pemerintah dalam mata uang asing. Kejadian saat kreditur tiba-tiba menagih seluruh utang pemerintah atau orang-orang terkaya Indonesia tiba-tiba melunasi seluruh utang pemerintah memang sangat tidak mungkin terjadi. Akan tetapi, angka-angka tersebut dapat mendeskripsikan jelas bahwa masyarakat Indonesia sebetulnya sangat mampu melunasi nilai utang yang dimiliki pemerintah saat ini.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa nominal utang Indonesia yang terlihat fantastis sebetulnya masih dalam batas aman. Indonesia sendiri sudah memiliki peraturan pengaman, yakni Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang membatasi jumlah utang Indonesia sebesar 60% dari PDB secara akumulatif (masih jauh dari 30,83% saat ini) dan 3% dari PDB untuk anggaran dalam satu tahun. Pemerintah Indonesia tentunya akan mengambil langkah-langkah preventif apabila nilai utang Indonesia mendekati batas tersebut.
Terlepas dari tingkat utang yang masih aman, penulis sependapat bahwa utang memang mengandung risiko yang besar, bila digunakan membiayai belanja negara yang tidak produktif, sehingga tidak dapat menciptakan akselerasi pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, sudah sewajarnya masyarakat turut mengawasi tingkat utang pemerintah Indonesia. Namun demikian, dengan kondisi utang yang sebenarnya relatif aman tersebut, tentunya bukan nilai nominal utang yang fantastis yang perlu mendapatkan pengawasan, tetapi yang benar-benar perlu diawasi ialah apakah utang tersebut memang digunakan untuk belanja yang produktif seperti pembangunan infrastruktur.
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja
Keterangan:
http://www.djppr.kemenkeu.go.id/#/id/page/debtstructure (8/10/2017)
Click to access brsInd-20170208123344.pdf
https://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL
http://jakartaglobe.id/business/globeasia-150-richest-indonesians-june-2016/
Government net & gross debt 2014, International Monetary Fund, April 2015 World Economic Outlook Database.
Discussion about this post