Oleh Abdur Rozid, mahasiswa PKN STAN
Sebagai negara yang memiliki pasar yang besar bagi global serta salah satu dari dua puluh kekuatan ekonomi besar dunia (G20), aktifitas perdagangan indonesia dapat dikatakan cukup besar. Peran logistik nasional sangat berpengaruh dalam kelancaran perdagangan internasional di Indonesia.
Turunnya peringkat Indonesia dalam survei Logistic Performance Indeks (LPI) 2016 (https://lpi.worldbank.org/international/global) perlu mendapatkan perhatian oleh para pemangku kebijakan. Dari 160 negara yang disurvei, Indonesia mendapatkan peringkat ke-63 dengan skor 2,98, mengalami penurunan dibandingkan hasil survei periode sebelumnya di tahun 2014 dimana saat itu Indonesia mendapatkan peringkat ke-53 dengan skor 3,08 (rentang skala 1-5, dengan 5 skala tertinggi). LPI merupakan benchmarking tools yang dikembangkan oleh World Bank yang mengukur kinerja rantai pasok dalam suatu negara dengan dibandingkan dan diperingkat bersama negara-negara lainnya. LPI memberikan gambaran kinerja logistik yang komprehensif mencakup prosedur kepabeanan, biaya logistik, kualitas infrastruktur dalam melacak pengiriman, ketepatan waktu sampai ke tujuan dan kompetensi industri logistik nasional (World Bank, 2007).
Beragam kendala membayangi kondisi logistik nasional, diantaranya biaya logistik yang mencapai 26% ongkos produksi sebuah barang untuk sampai pada ke pengguna akhir. Hal itu menyebabkan panjangnya rantai pasok di dalam negeri dan tidak efisiennya salah satu fungsi pelabuhan sebagai tempat tunggu sebelum barang disalurkan ke sentra-sentra produksi. Akibatnya, pada kurang kompetitifnya dunia industri terutama Industri Kecil dan Menengah (IKM). Padahal data dari Kementerian Perindustrian dan Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2012, IKM memberikan kontribusi kepada GDP sekitar 59,08% (setara Rp4.869 triliun), dan total lapangan kerja sekitar 97,16% (setara 107.657.509 orang).
IKM juga berkontribusi dalam mendukung kinerja ekspor nasional. Misalnya pada tahun 2011 menyumbang ekspor senilai 16,44% atau setara Rp187.441,82 miliar (The Comcec Trade Working Group, 2013). Ekspor yang dilakukan IKM sebenarnya belum optimal karena masih ada kendala baik internal maupun eksternal seperti ketidakstabilan suplai dan harga bahan bakar, sulit mendapatkan bahan baku, dan terbatasnya akses pasar dan akses melakukan proses ekspor oleh IKM.
Kemudian, pemerintah mengimplementasikan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut yaitu dengan meresmikan Pusat Logistik Berikat (PLB) pada 10 Maret 2016. PLB merupakan tempat penimbunan barang-barang impor yang diperlukan untuk industri dan tempat penimbunan barang-barang ekspor dengan penundaan pembayaran pungutan impor serta penundaan pemenuhan ketentuan pembatasan impor berdasarkan PMK No.272/PMK.04/2015 tentang Pusat Logistik Berikat. Pada saat pertama kali diresmikan terdapat 12 PLB di seluruh Indonesia untuk dijadikan hub logistik nasional dan Asia Pasifik. Satu tahun kemudian, jumlah PLB telah berkembang pesat mencapai 34 PLB. Dengan jenis barang timbun yang berbeda-beda, ekstensifikasi pengguna ini dapat dicatat sebagai respon positif dunia usaha terhadap fasilitas PLB.
Secara garis besar, perkembangan pesat PLB pada tahun pertamanya memiliki kontribusi pada penerimaan negara. Pada bulan April 2017, nilai barang yang disimpan di dalam gudang PLB tercatat sebesar Rp1,16 triliun, berasal dari 20 perusahaan supplier internasional, 34 perusahaan distribusi internasional, dan 97 perusahaan distribusi lokal. Rata-rata lead time tercatat 1,8 hari atau jauh lebih cepat daripada impor pada umumnya. PLB juga berkontribusi terhadap penerimaan negara dengan jumlah bea masuk sebesar Rp10,28 miliar, PPh Impor Pasal 22 sebesar Rp27,13 miliar, dan PPN Impor sebesar Rp120,09 miliar.
PLB juga membawa dampak positif bagi industri pergudangan di Indonesia. Menurut data yang dirilis oleh BPS sektor transportasi dan pergudangan naik 0,27% poin dari tahun lalu. Sektor ini berdiri di posisi kedua setelah jasa kemasyarakatan yang naik sebesar 0,42% poin. PLB juga berpengaruh pada penurunan dwelling time yang disebabkan pemindahan beberapa kegiatan pada tahap pre-clearance dan custom clearance di pelabuhan ke PLB. Selain pengaruhnya terhadap dwelling time kebijakan insentif PLB juga memberikan kemudahan dan efisiensi produksi industri nasional.
Oleh karena itu, dengan pencapaian yang pesat pada tahun pertamanya, pengetahuan dan pandangan masyarakat Indonesia terkait dengan logistik nasional diharapkan akan berubah menjadi lebih positif dan optimis. Melihat pencapaian pada tahun pertamanya, semua pihak tentunya bisa berharap untuk pengembangan program PLB ini nantinya mampu meningkatkan efisiensi waktu, mengurangi biaya logistik, serta peningkatan SDM yang memahami bidang logistik, memberikan kemudahan bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM) sehingga kedepannya mampu memajukan perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik.
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja
sumber: kemenkeu.go.id
Discussion about this post