KeuanganNegara.id- Nilai tukar rupiah tercatat di posisi Rp14.258 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pasar spot Rabu (28/8) sore. Posisi tersebut melemah 0,02 persen dibanding penutupan pada Selasa (27/8) yakni Rp14.255 per dolar AS.
Sementara itu, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) menempatkan rupiah di posisi Rp14.263 per dolar AS atau melemah dibanding kemarin yakni Rp14.235 per dolar AS. Pada hari ini, rupiah berada di dalam rentang Rp14.255 per dolar AS hingga Rp14.268 per dolar AS.
Sore hari ini, mayoritas mata uang utama Asia melemah terhadap dolar AS. Baht Thailand melemah 0,05 persen, peso Filipina melemah 0,05 persen, dan yuan China melemah 0,05 persen.
Kemudian, ringgit Malaysia melemah 0,19 persen, won Korea Selatan melemah 0,24 persen, dan rupee India melemah 0,5 persen. Di kawasan Asia, hanya dolar Hong Kong dan yen Jepang yang menguat terhadap dolar AS masing-masing sebesar 0,01 persen dan 0,03 persen. “Bisa jadi, dalam waktu dekat perang dagang kedua negara akan kembali meningkat dan membuat laju perekonomian kedua negara mengalami hard landing,” terang Ibrahim, Rabu (28/8).Kemudian, mata uang negara maju juga melemah terhadap dolar AS. Euro melemah 0,02 persen, dolar Australia melemah 0,11 persen, dan poundtserling Inggris melemah 0,92 persen.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan pelemahan rupiah hari ini disebabkan oleh perkembangan perang dagang antara AS dan China. Di sela-sela KTT G7, Presiden AS Donald Trump menyebut bahwa delegasi dagang China telah menghubungi perwakilan AS untuk melanjutkan lagi negosiasi terkait perang dagang. Namun, China mengatakan tidak pernah menelepon pihak AS terkait hal tersebut.
Bahkan, China malah mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan AS yang menetapkan bea masuk yang lebih tinggi bagi impor asal China.
Lebih lanjut, eskalasi perang dagang antara AS dan China malah membuat tanda-tanda resesi AS kian kentara. Sebab, imbal hasil obligasi AS dengan tenor dua tahun kini sudah melampaui imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun.
Kondisi yang lazim disebut inverted yield curve ini menandakan bahwa pelaku pasar tidak begitu optimistis dengan ekonomi AS di jangka panjang. Ini sekaligus menandakan bahwa ekonomi AS cenderung berisiko di jangka pendek.
“Hal ini bisa menjadi sinyal resesi. Sebab, di dalam kondisi normal, yield tenor panjang seharusnya akan lebih tinggi mengingat obligasi tenor panjang pasti lebih berisiko ketimbang tenor pendek,” jelas dia. (cnn)
Discussion about this post