KeuanganNegara.id– Beberapa waktu terakhir isu pelemahan yuan Chinakembali merebak. Pemerintah China dituding dengan sengaja melemahkan mata uangnya (devaluasi) untuk membalas serangan tarif dari pemerintah Amerika Serikat (AS).
Secara teori, ketika mata uang suatu negara melemah terhadap dolar AS maka harga produk negara tersebut akan menjadi relatif lebih murah di pasar internasional. Pasalnya, transaksi dilakukan menggunakan dolar AS.
Di awal pekan ini, kurs yuan tertekan hingga ke level 7 yuan per dolar AS, level terendah selama satu dekade terakhir. Pemerintah AS menuding pelemahan itu dimanipulasi oleh China sebagai aksi balasan terhadap pengenaan tarif.
Pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana pengenaan tarif tambahan sebesar 10 persen atas impor senilai US$300 miliar asal China mulai 1 September 2019 mendatang. Dengan melemahkan mata uangnya, China dapat mengkompensasi kenaikan harga produknya akibat pengenaan tarif itu.
Terbukti pada perdagangan Selasa (6/8) lalu, atau saat yuan melemah, nilai tukar rupiah sempat tertekan hingga menembus Rp14.300 per dolar AS. Pada perdagangan Kamis (8/8) pagi, kurs rupiah dibuka di level Rp14.235 per dolar AS atau melemah 0,07 persen dibandingkan penutupan pada Rabu (7/8) yakni Rp14.225 per dolar AS.
Menurut Josua, terseretnya mata uang negara lain akibat yuan bisa terjadi karena usaha China melemahkan mata uangnya sendiri dipandang sebagai retaliasi perang dagang yang dianggap sebagai peningkatan risiko oleh para investor.
Buntutnya, investor akan mencari asset yang lebih aman (save heaven asset) dan sentimen pasar cenderung menjauhi risiko. Salah satu aset yang dianggap paling aman adalah membeli mata uang negara maju seperti dolar AS.
Pasalnya, hanya AS yang melakukan konfrontasi dagang dengan Negeri Tirai Bambu tersebut secara langsung. Bagi Indonesia, sambung Josua, pelemahan nilai tukar dampaknya lebih banyak merugikan dari pada menguntungkan.
Maklum, sebagian besar ekspor Indonesia merupakan komoditas mentah. Dengan kondisi tersebut, ketika rupiah melemah maka nilai ekspor Indonesia di neraca dagang juga bakal ikut tertekan.
“Selain itu, sebagian besar pelaku industri di dalam negeri masih bergantung pada impor bahan baku dan barang modal untuk keperluan proses produksi,” ujar Josua kepada CNNIndonesia.com, Rabu (7/8).
Menangkap peluang dengan mendorong ekspor juga tak mudah dilakukan. Pasalnya, output dari produksi industri domestik tidak seluruhnya berorientasi ekspor.
Sebagian besar produksi masih diperuntukkan bagi konsumsi domestik. Artinya, sulit bagi Indonesia untuk serta merta mengerek ekspornya secara signifikan dalam waktu singkat.
Kesulitan Indonesia untuk mendongkrak ekspor juga disebabkan oleh daya saing produk Tanah Air yang masih lebih rendah dibandingkan China. Konsekuensinya, alih-alih mendongkrak ekspor, neraca perdagangan Indonesia dengan China akan cenderung melebar.
Apalagi dengan pelemahan yuan, harga produk China menjadi semakin murah. Harga yang murah tersebut berpotensi mengerek impor dari China ke Indonesia.
“Pelebaran defisit perdagangan Indonesia dengan Tiongkok mengindikasikan bahwa ketergantungan impor dari China masih cukup tinggi sementara di sisi lainnya ekspor Indonesia melambat seiring dengan perlambatan ekonomi Tiongkok dan penurunan harga komoditas,” katanya.
Dari sisi keuangan, sambung Josua, pelemahan kurs yuan yang berdampak pada pelemahan rupiah terhadap dolar AS juga dikhawatirkan akan menambah beban utang luar negeri Indonesia. Pasalnya, pembayaran bunga dan pokok utang luar negeri dilakukan dalam denominasi dolar AS.
Mayoritas ULN merupakan utang swasta yang porsinya mencapai 54 persen atau senilai US$196,9 miliar. Sementara, US$183,6 miliar sisanya merupakan utang pemerintah.
Sementara itu, Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menilai Indonesia sebaiknya mengikuti arus pelemahan mata uang negara-negara di dunia. Jika tidak, harga produk Indonesia akan menjadi relatif lebih mahal dan daya saingnya berkurang.
“Kalau BI sekarang ini tetap mempertahankan rupiah untuk menguat, kita akan menerima konsekuensi dari pelemahan mata uang di tempat-tempat lain. Artinya, produk kita menjadi lebih mahal dibandingkan produk negara lain,” ujar Yose secara terpisah.
Menurutnya, kebanyakan negara lebih menginginkan agar mata uangnya melemah. Ketika kurs mata uangnya keok, harga produknya menjadi relatif lebih murah bagi negara lain yang membayar menggunakan dolar AS.
Tak heran, ketika China disinyalir melemahkan mata uangnya, negara lain cenderung ikut-ikutan melemahkan mata uangnya. Di Indonesia, kecenderungannya berbeda.
Pelemahan rupiah kerap dianggap sebagai suatu kesalahan politik. Ketika rupiah melemah, ongkos politik yang ditanggung oleh pemerintah besar.
Padahal, secara riil, menurut Yose, kurs rupiah terhadap dolar AS terlalu kuat. “Beban atau biaya politik dari rupiah melemah itu sangat tinggi. Orang kita tidak senang rupiah melemah. Padahal, diperlukan rupiah melemah sejak bertahun-tahun yang lalu,” ujarnya.
Untuk satu hingga dua bulan, Yose menilai dampak pelemahan rupiah akan mendongkrak nilai ekspor dan impor yang akan memperburuk defisit neraca perdagangan. Namun, setelah itu, pasar akan menyesuaikan dan neraca perdagangan akan membaik. Dalam hal ini, ketika impor semakin mahal maka pelaku akan cenderung menurunkan volumenya.
“Ketika harga impor semakin mahal maka konsumsi dengan sendirinya akan berkurang,” ujarnya.
Namun demikian, sambung ia, harga sejumlah produk di dalam negeri tidak mencerminkan harganya di pasar global. Misalnya, Bahan Bakar Minyak (BBM) yang meskipun diimpor tetapi harganya mengikuti ketentuan pemerintah. Untuk itu, ketika rupiah melemah, harga BBM sebaiknya disesuaikan.
Terkait beban utang yang berpotensi melonjak ketika rupiah melemah, Yose tak begitu khawatir. Pasalnya, porsi ULN relatif kecil terhadap PDB sehingga dampaknya masih bisa dikelola.
“Karena kita sudah punya pengalaman pada krisis 1998, ULN sekarang lebih terjaga,” jelasnya. (cnn)
Discussion about this post