bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Terbanding yang beranggapan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung oleh pemberi kerja merupakan kenikmatan bagi pegawai dehingga harus diperlakukan sebagai komponen penambah penghasilan karyawan;
bahwa perhitungan Pajak Penghasilan Badan untuk PSC yang ditandatangani sebelum 1 Januari 1984 (saat berlakunya Undang-Undang PPh Nomor 7 Tahun 1983) mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Ordonansi Pajak Perseroan 1952 (sebagaimana diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970) dengan peraturan pelaksanaannya berdasarkan KMK Nomor : 267/KMK.012/1978, berdasarkan kedua peraturan ini, biaya atas kenikmatan karyawan yang ditanggung oleh pemberi kerja merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (“deductible expense”);
bahwa perhitungan atas pajak penghasilan karyawan diatur dalam Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 (sebagaimana diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1970), berdasarkan pasal 17a ayat (3) dijelaskan bahwa penggantian dari pemberi kerja kepada karyawannya berupa barang dan jasa yang dapat dinilai dalam uang merupakan obyek penghasilan yang terutang pajak;
bahwa penghitungan Pajak Penghasilan Badan untuk kontrak PSC yang ditandatangani per 1 Januari 1984 dan sesudahnya (saat berlakunya Undang-Undang PPh Nomor 7 Tahun 1983) mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh tersebut dengan peraturan pelaksanaannya berdasarkan KMK Nomor : 458/KMK.012/1984 tanggal 21 Mei 1984, dalam Pasal 9 (e) Undang-Undang PPh dijelaskan bahwa penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan tidak boleh dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto bagi perusahaan (“non deductible expense”);
bahwa selanjutnya di dalam Pasal 4.3(d) Undang-Undang PPh Nomor 7 Tahun 1983, dijelaskan bahwa penggantian ayau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan bukan merupakan obyek penghasilan yang terutang pajak, hal ini juga ditegaskan dalam Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor : KEP-545/PJ/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi Pasal 7 huruf e yang menyatakan : “Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja”;
bahwa penerapan konsep “Uniformity Principle” terhadap Kontrak Bagi Hasil pasca Undang-Undang PPh Nomor 7 Tahun 1983 berbeda dari yang sebelumnya;
bahwa dalam kasus pemberian kenikmatan, Benefit in Kind (“BIK”) tetap dikenakan pajak, titik pemajakannya (taxing point) tergantung pada penerapan konsep yang dianut dalam Undang-Undang Perpajakan (Huku Positif Undang-Undang Pajak) apakah dikenakan di tingkat si penerima kenikmatan/ BIK atau dikenakan pajak di tingkat si pemberi kenikmatan/ BIK;
bahwa perlakuan pemajakan atas kenikmatan/BIK dalam Undang-Undang PPs 1925 dan Undang-Undang PPd 1944 menganut konsep “taxable – deductible”, dengan perkataan lain, taxing point untuk pemberian kenikmatan/ BIK dikenakan pada tingkat si penerima kenikmatan/ BIK;
bahwa konsep “taxable – deductible” telah dianut dalam Undang-Undang PPs 1925 dan Undang-Undang PPd 1944 den dengan demikian tidak boleh llagi memakai konsep sebaliknya, yaitu “non – t axable – non – deductible” oleh karena itu, kontrak PSC yang ditandatangani pada saat itu, sepanjang menyangkut masalh perpajakan, menganut konsep “taxable – deductible”;
Discussion about this post