[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id- Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengungkapkan rancangan (draf) revisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai masih dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak DJP Yon Arsal mengatakan revisi UU tentang Bea Materai juga diusulkan untuk masuk program legislasi nasional (Prolegnas) 2020. Dengan demikian, prosesnya diharapkan makin cepat.
“UU tentang bea materai yang baru sudah di dalam pembasahan dengan Komisi XI DPR, dan saya pikir masuk prolegnas 2020. Kalau ini sudah jadi, Insya Allah kita akan berhadapan dengan UU bea materai baru dalam waktu yang tidak lama,” katanya,.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan kenaikan harga bea materai dari sebelumnya Rp3 ribu dan 6 ribu per lembar menjadi satu harga yakni Rp10 ribu per lembar.
Yon menilai undang-undang tersebut layak direvisi lantaran usianya sudah menyentuh 34 tahun. Tak hanya itu, beberapa poin dalam aturan tersebut tidak sesuai dengan perkembangan kondisi saat ini.
Ia juga menyebut penerimaan bea materai cenderung stagnan dalam 6 tahun terakhir di angka Rp4 triliun hingga Rp5 triliun. Pada 2013, bea masuk dari materai tercatat sebesar Rp4,42 triliun. Angka itu tidak berubah signifikan yakni Rp4,6 triliun per Oktober 2019.
Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan bea materai cenderung lambat. Penerimaan paling tinggi dalam 6 tahun terakhir, kata dia, terjadi pada 2018 yakni Rp5,4 triliun.
“Sedangkan pertumbuhan penerimaan pajak meningkat signifikan, jadi porsi bea materai makin lama makin kecil,” katanya.
Menurut dia potensi penerimaan bea materai cukup besar, karena penggunaan materai melibatkan transaksi yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dan non ekonomi seperti administrasi. Dengan demikian, ia menilai penerimaan bea materai hendaknya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
Sebelumnya, Sri Mulyani juga beralasan pendapatan per kapita Indonesia terus meningkat sehingga nilai bea meterai maksimal sebesar Rp6 ribu sudah dianggap tak relevan. Pendapatan per kapita pada 2001 yang hanya mencapai Rp6,7 juta melesat 674,63 persen menjadi Rp51,9 juta pada 2017.
Sementara itu, penerimaan negara dari bea meterai di periode yang sama hanya naik 262,86 persen, yakni dari Rp1,4 triliun menjadi Rp5,08 triliun.
“Maka dari itu, kami usulkan bahwa tarif meterai lebih sederhana menjadi satu tarif yakni Rp10 ribu,” jelas Sri Mulyani, Rabu (3/7) lalu. (cnn)
Discussion about this post