[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Pendirian coast guard Indonesia kembali menjadi center of gravity atau pusat massa di lingkaran komunitas kemaritiman di Tanah Air. Pemicunya adalah pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat melantik Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla), Laksamana Madya Aan Kurnia di Istana Negara pada 12 Februari silam.
Dalam amanatnya, Presiden ingin agar Bakamla menjadi satu-satunya penjaga laut atau coast guard di Indonesia. Sontak grup WhatsApp yang penulis ikuti bergemuruh dengan pro dan kontra soal Bakamla ini.
Bagi yang pro dengan Bakamla, pernyataan Jokowi dimaknai sebagai angin segar bagi gagasan peleburan instansi-instansi penegakan hukum di laut yang ada selama ini ke dalam Bakamla.
Seperti diketahui, sejak ditubuhkan pada 2014 Bakamla ingin menjadi badan tunggal keamanan di laut agar penegakan hukum di laut Nusantara tak lagi tumpang-tindih. Bahasa kerennya: single agency, multi tasks. Agensi tunggal, multi tugas.
Selama ini, beberapa instansi juga ikut bagian di laut, mulai dari Polri (Korps Kepolisian Perairan dan Udara), Bea Cukai (Kementerian Keuangan), KPLP (Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai, Ditjen Laut Kementerian Perhubungan), lain-lain dan itu semua bisa diemban oleh satu instansi di laut, Bakamla.
Jelas saja keinginan tersebut bukan perkara mudah, terutama bagi instansi yang akan di-take-over wewenangnya di laut oleh Bakamla.
Bagi yang kontra terhadap lembaga ini, Bakamla tidak memiliki dasar hukum sama sekali untuk melakukan langkah dimaksud. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang menjadi raison d’etre eksistensi badan itu tidak menyebut sama sekali soal single agency, multi tasks. Bahkan, sekadar frasa coast guard saja tidak ada.
Bagaimana dengan pernyataan Kepala Negara dalam acara pelantikan Kepala Bakamla yang baru?
Hal itu bukan hukum atau dapat dijadikan landasan hukum. Kendati demikian, kelompok pendukung Bakamla, terus saja mengkampanyekan niat peleburan instansi-instansi penegakan hukum di laut. Sementara, kelompok yang kontra juga gencar membendung ide tersebut. Begitu terus situasinya.
Ketika tulisan ini diselesaikan ada perkembangan terkait pendirian coast guard Indonesia yang patut dicatat. Pertama, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, mewacanakan penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) untuk mendukung niatan Bakamla tadi.
Mahfud memang menyadari adanya kerumitan soal keamanan laut ini. Bahkan dia menegaskan, seperti dikutip CNBC Indonesia 23 Desember 2019, bahwa ternyata keamanan laut ini sangat rumit karena ada 17 Undang-Undang yang mengatur.
Kedua, akan diusulkan ke DPR RI sebuah Rancangan Undang-undang omnibus law keamanan laut. Ketiga, pembahasan RUU Keamanan Laut yang sudah masuk ke Senayan terlebih dahulu dan menjadi salah satu agenda pembahasan dalam Prolegnas periode 2019-2024.
Jalan Tengah
Kemauan pemerintah untuk mendirikan coast guard ternyata cukup kuat dan ini layak diapresiasi. Hanya saja sejauh ini masih berat sebelah sehingga berdampak pada kohesivitas para pemangku kepentingan di bidang law enforcement di laut teritorial Indonesia.
Kok bisa berat sebelah sih?
Begini. Coast guard atau penjaga pantai merupakan satu isu yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Lembaga ini ditempatkan pada Bab XVII aturan tersebut dan memiliki 6 Pasal, mulai dari Pasal 276 hingga 281.
Menurut UU Pelayaran 2008, coast guard berfungsi menjalankan penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai. Lembaga ini didesain status kedudukannya berada di bawah presiden langsung. Penjelasan atas UU ini, khususnya pada huruf f, menyebutkan “Penjagaan laut dan pantai merupakan pemberdayaan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) dan Perkuatan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai.”
Bagaimana detail fungsi coast guard Indonesia dijalankan di lapangan dan integrasi kedua lembaga tadi, akan dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk itu dan aturan pendukung lainnya.
Menariknya, Pasal 352 UU Pelayaran 2008 mengatakan, “Penjagaan Laut dan Pantai harus sudah terbentuk paling lambat tiga tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.” Tenggat ini sudah berlalu lama, coast guard Indonesia tidak juga menjelma. Parahnya, terjadi skisma di antara KPLP dan Bakorkamla.
Kini, dengan kuasa UU Nomor 32/2014 tentang Kelautan, Bakorkamla telah bertransformasi menjadi Bakamla. Sayang, sejak kelahirannya tidak satu pun PP yang dikeluarkan oleh pemerintah (Kementerian Kelautan dan Perikanan) untuk meregulasi bidang-bidang yang dicakupnya, termasuk kelembagaan Bakamla.
Sejauh ini keberadaan instansi ini ditopang dua Peraturan Presiden, yaitu Perpres Nomor 81 Tahun 2005 dan Perpres Nomor 178 Tahun 2014. Tidak banyak perbedaan di antara keduanya. Bedanya aturan pertama diteken oleh Presiden SBY dan kedua oleh Presiden Jokowi.
Berbekal aturan-aturan yang ada tadi Bakamla terus bergerak meneguhkan jati dirinya sebagai coast guard. Pada poin ini sebetulnya apa yang dilakukan Bakamla sah-sah saja adanya. Tetapi, lembaga ini terjebak offside manakala ia mencoba mewacanakan peleburan, antara lain, KPLP, Polisi Perairan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
Sejauh ini memang masih wacana sih. Tetapi melihat siapa yang mendukung wacana ini bisa “masuk ini barang”.
Para pendukung ada yang dari kalangan mantan bintang di salah satu matra. Ada pula dari kalangan pemerintah sendiri, dalam hal ini Menkopolhukam, Menko Kemaritiman dan Investasi, dan Menteri KKP.
Tidak ketinggalan, Menteri Perhubungan di mana KPLP yang berada di bawah komandonya via Ditjen Perhubungan Laut berpotensi dilumat masuk ke dalam institusi coast guard besutan Bakamla. Kelompok ini menyuarakan perlunya single agency, multi tasks untuk menekan praktik pungli di laut yang berlangsung selama ini. Dan, lembaga yang mereka maksudkan itu adalah Bakamla.
Menurut sebuah perkiraan, praktik pungli di laut dengan cara mencegat kapal-kapal yang tengah berlayar dan menanyakan ini-itu yang tidak relevan kepada kapten kapal bernilai Rp 7 triliun per tahun.
Bahkan Asosiasi Perusahaan Pelayaran Nasional atau Indonesian National Shipowners Association (INSA) beberapa kali menyampaikan di media massa soal keberatan dengan pungutan liar (pungli) yang marak di sektor pelayaran. Akibat pungli tersebut, anggota INSA merugi sekitar Rp 5,5 triliun per tahun, karena biaya operasional perusahaan melonjak hingga 10% sebagaimana dikutip supplychainindonesia.
Soal pro-kontra Bakamla ini, para pejabat tinggi yang mendukung Bakamla sepertinya lupa bahwa KPLP, Polair dan sebagainya juga instansi pemerintah yang perlu dihargai eksistensinya.
Khusus Menhub, dia malah terutang tugas penyusunan PP coast guard sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran dari 10 tahun yang lalu. Inilah yang penulis maksud dengan berat sebelah itu.
Acknowledgment terhadap eksistensi lembaga yang ingin dicaplok Bakamla perlu diingatkan karena mereka sudah lebih dulu hadir dan rekam jejaknya lumayan moncer.
KPLP, misalnya, adalah yang paling tua di antara semuanya. Keberadaannya berakar sampai kepada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Namanya waktu itu adalah Zee en Kustbewaking Dienst atau Dinas Penjagaan Laut dan Pantai. Sementara Polisi Perairan berdiri pada 1960.
Adapun Bakamla lahir pada 2014 sejurus diberlakukannya UU Kelautan 2014. Berusia 6 tahun. Bila ditarik lebih ke belakang ketika masih menyandang nama Bakorkamla, umur lembaga ini hampir 50 tahun.
Bakorkamla berdiri pada 1972. Dari sisi kinerja, data yang berhasil penulis himpun dari berbagai sumber mengungkapkan, jumlah kasus penangkapan yang dilakukan oleh Bakamla diproses hukum lebih lanjut dari 2017 sampai 2019 berjumlah 23 kasus. Perinciannya, 8 kasus (2017), 2 kasus (2018) dan 13 kasus (2019). Keduapuluh tiga kasus tersebut 7 berstatus SP3, 5 dilimpahkan ke kejaksaan dan 11 berstatus P21.
SP3 adalah Surat Perintah Penghentian Penyidikan yang disampaikan oleh penyidik -dalam hal ini kepolisian- kepada penuntut umum/kejaksaan. Sedangkan P21 berarti informasi terkait proses penanganan perkara pidana yang sudah lengkap dan dapat dilimpahkan ke kejaksaan.
Singkat cerita, ada dua kubu di tengah masyarakat menyikapi isu pendirian coast guard Indonesia: kubu pro peleburan instansi-instansi yang sudah ada ke dalam Bakamla dan yang kontra terhadap gagasan itu. Saya menawarkan jalan tengah. Jalan tengah ini didasarkan ke atas prinsip mutual co-existence.
Itu artinya, coast guard Indonesia seperti yang diamanatkan oleh UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dijalankan oleh Kementerian Perhubungan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Bila Bakamla ingin dipertahankan, lembaga ini sebaiknya dijadikan penjuru/koordinator bagi instansi-instansi penegakan hukum di laut yang ada selama ini. Tugas utamanya membuat code of conduct patrol atau penindakan bagi instansi yang ada. (cnbcindonesia)
Discussion about this post