[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id – Obsesi terhadap globalisasi yang berlangsung sejak 1990 hingga 2010 serta perlambatan internasionalisasi dari 2010 hingga 2019 dapat membantu menjelaskan fenomena peningkatan ekspor Indonesia yang luar biasa di awal abad ini, lalu penurunan ekspor setelah krisis global dan bagaimana sulitnya untuk meningkatkan kembali ekspor Indonesia.
Akselerasi pertumbuhan kegiatan bisnis global meningkat pesat sejak 1990 hingga 2010. Tingkat perdagangan terhadap PDB meningkat dari 39% pada tahun 1990 menjadi 58% pada tahun 2018. Aset internasional terhadap PDB meningkat dari 130% pada tahun 1990 menjadi lebih dari 400% pada 2018. Investasi asing meluas tidak hanya ke negara-negara maju tetapi juga ke negara-negara berkembang.
Perusahaan multinasional (MNEs) bersaing untuk masuk ke pasar baru, sementara pemerintah di negara-negara berkembang bersaing untuk menarik investasi asing (FDI). Negara-negara berkembang merupakan pasar yang menjanjikan dimana kemampuan daya beli tumbuh dengan pesat, kapasitas untuk produksi meningkat, dan akses terhadap sumber daya strategis lebih mudah.
Selain itu, biaya transportasi dan biaya koordinasi kegiatan komersial secara global turun dengan cepat. Dengan kata lain, sejak 30 tahun terahkir kesempatan untuk mengambil keuntungan dari pasar dengan tenaga kerja berbiaya rendah semakin terbuka lebar, bersama dengan akses ke sumber daya lingkungan bisnis yang tidak begitu ketat, sehingga memungkinkan perluasan penjualan MNEs di pasar baru.
Di sisi lain, sejak awal abad ini pertumbuhan keuntungan bisnis di negara maju mulai melambat, baik karena kenaikan biaya produksi, persaingan yang lebih agresif, iklim usaha yang lebih ketat, dan beberapa industri hanya memiliki sedikit peluang untuk memperluas pasar.
Dalam kondisi seperti itu perluasan usaha MNEs ke negara-negara berkembang adalah godaan yang sulit untuk dihindari oleh perusahaan multinasional. Selama melakukan proses ekspansi MNE ke luar negeri keuntungan juga meningkat, dan proporsi penjualan di luar negeri terhadap total penjualan terus tumbuh. Dalam iklim laba yang begitu baik ini, investasi dan kegiatan ekonomi dari perusahaan multinasional semakin meluas.
Pemerintah-pemerintah dari negara berkembang memberi karpet merah untuk MNE untuk mengambil keuntungan dari MNE yang membawa serta menciptakan lapangan kerja, meningkatkan ekspor, dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2000, diperkirakan hampir 7.000 karyawan dan lebih dari 600 juta dolar diciptakan dari setiap miliar dolar investasi asing dalam ekspor per tahun.
Muncul pendapat dimana MNEs janji akan membawa teknologi, modal, merek, dan sistem organisasi, sementara negara-negara berkembang menawarkan banyak pekerja berbiaya rendah, akses ke bahan baku dan lingkungan bisnis yang lebih mudah (meskipun kadang kurang teratur, kompleks, dan seringkali kurang efisien). Dengan biaya transportasi yang rendah dan rantai nilai yang terfragmentasi, pabrik-pabrik banyak tersebar di negara-negara berkembang. Cina merepresentasikan hal ini dengan cara yang patut dicontoh, karena pada tahun 2010, sekitar 30% produksi dari industri dan 50% ekspor berasal dari perusahaan yang ditanam investasi asing.
Perlu digarisbawahi bahwa organisasi internasional berperan aktif dalam menyumbang lebih dari 50% total ekspor, di mana sekitar 50% melintasi beberapa perbatasan selama proses produksi. Dengan kata lain, selama tiga dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi global dibiayai dengan modal internasional, serta oleh percepatan pertumbuhan perdagangan. Pergerakan aliran modal internasional difasilitasi, tarif impor diturunkan, berbagai perjanjian perdagangan internasional muncul, dan biaya logistik berkurang secara signifikan.
Setelah beberapa dekade, terjadi peningkatan daya saing di antara negara-negara berkembang sehingga biaya tenaga kerja meningkat, profit MNEs mulai menipis, dan negara-negara berkembang mulai memperketat aturan-aturan. Selain itu, munculnya krisis keuangan global pada tahun 2008 juga mengakibatkan sebagian dari harga bahan baku (komoditas) runtuh dan terjadi ketegangan internasional. Prospek pertumbuhan dan pendapatan MNE anjlok.
Model bisnis dari MNE berorientasi ulang dari mengandalkan investasi fisik yang tinggi dan tenaga kerja murah, menjadi ke model yang lebih berorientasi ke layanan, kekayaan intelektual, dan inovasi teknologi, yang menyumbang 65% laba dari MNE. Investasi internasional mulai turun (hanya pada 2016 turun antara 10-15%). Tidak mengherankan jika pendapatan dari 700 MNE terkuat turun hampir 25% antara tahun 2012 hingga 2017 diiringi dengan penurunan pinjaman di sejumlah bank internasional, aliran modal internasional, dan investasi MNE.
Alur cerita yang sesungguhnya sebenarnya lebih kompleks daripada penjelasan singkat ini, tetapi intinya adalah aktivitas internasional turun secara dramatis. Investasi modal dan keuntungan dari pasar di negara-negara berkembang tidak sesuai yang diharapkan, sementara di sisi lain bobot investasi dan utang juga telah menumpuk.
Di sinilah terjalin koneksi. Indonesia merupakan bagian dari pertumbuhan kegiatan MNE dimana investasi asing tumbuh secara eksponensial, dan Indonesia menjadi pasar yang sangat menarik untuk berinvestasi. Masalahnya adalah sebagian besar investasi asing di Indonesia lebih banyak masuk ke sektor pertambangan, logam, sumber daya alam dan pertanian, serta infrastruktur dan telekomunikasi (di samping jasa keuangan dan jasa lainnya). Aktivitas internasional mendorong Indonesia untuk meningkatkan ekspor dengan cepat di sektor-sektor tersebut.
Dalam periode tahun 1995 hingga 2011, ekspor tumbuh dari US $ 57 miliar menjadi US $ 223 miliar (328%). Tiga sektor ini berkontribusi sebesar 65% dari pertumbuhan; pertambangan (menyumbang 37% dari total pertumbuhan ekspor), makanan (14,6%), dan bahan kimia (12,7%). Jika logam dan pertanian ditambahkan, kelima sektor tersebut berkontribusi sebesar 81% dari pertumbuhan ekspor. Jika diperhatikan dengan cermat, sebagian besar ekspor tersebut merupakan hasil dari sumber daya alam, dan sebagian lainnya adalah produk antara, sehingga 73% dari pertumbuhan ekspor adalah ekspor bahan baku.
Investasi dapat memberikan ledakan pada ekspor di saat harga tinggi dan permintaan global tinggi, tetapi di sisi lain investasi juga dapat menyebabkan ekspor runtuh pada saat harga rendah dan permintaan global melambat. Selain itu, penurunan harga dan permintaan global menghambat investasi baru di sektor-sektor ini.
Terlepas dari kenyataan bahwa pemerintah meluncurkan kebijakan industri dan perdagangan untuk meningkatkan nilai agregat ekspor (terutama pertambangan dan logam), faktor-faktor eksternal juga dapat menghambat implementasi kebijakan dan meruntuhkan aktivitas Indonesia di sektor-sektor tersebut.
Ada kecemasan luar biasa dalam peningkatan ekspor sehingga sejumlah besar program pemerintah telah dilaksanakan dalam upaya memberikan insentif. Namun, penurunan besar ini yang paling utama disebabkan oleh aktivitas MNEs dan perusahaan nasional besar yang memainkan peran penting di berbagai sektor. Program untuk mendorong perusahaan kecil dan menengah untuk melakukan ekspor sudah sangat baik, tetapi secara realistis dalam jangka pendek mereka tidak akan mengisi kekosongan MNEs atau perusahaan besar.
Saat ini diperlukan peluncuran kembali program industri yang serius dan di mana komitmennya bersifat jangka panjang. Dua dekade telah lenyap dalam industrialisasi untuk mendapatkan keuntungan di sektor sumber daya alam. Efeknya tidak hanya mempengaruhi ekspor saja, tetapi juga mengurangi rantai nilai untuk industri lokal. Sementara Thailand, Vietnam, dan Cina bergerak maju dalam rantai pasok global sebagai produsen di industri elektronik, permesinan, transportasi, dan telekomunikasi, Indonesia masih fokus pada eksploitasi sumber daya alam.
Karena fokus kegiatan ekonomi Indonesia tersebut, pemulihan biaya ekspor lebih tinggi daripada di negara-negara tetangga. Indonesia gagal memulihkan tingkat ekspor selama bertahun-tahun dalam bonanza, sementara para tetangga telah pulih dan sekarang bergerak maju menerima investasi dalam relokasi industri yang sebelumnya berpusat di Tiongkok.
Mungkin ini adalah gelombang kemarahan kedua atas penggunaan sumber daya alam yang menjadi sumber aktivitas komersial global dalam lebih dari 60 tahun hingga sejarah terulang kembali. Sementara cadangan minyak, keanekaragaman flora dan hutan semakin berkurang dari hari ke hari, otot industri manufaktur pun tidak tumbuh pada negara dengan level seperti Indonesia di mana begitu banyak sumber daya dan kekuatan besar berada dalam genggaman tangan.
Memang benar bahwa Indonesia telah membentuk dan memperbaiki institusi. Banyak pula kemajuan telah dicapai dalam infrastruktur dan lingkungan bisnis. Sekarang saatnya untuk lebih meningkatkan inovasi, kemampuan untuk menyerap teknologi, meningkatkan aktivitas industri yang berorientasi agar lebih terhubung dengan rantai nilai, dan memperkuat layanan yang mendukung aktivitas komersial.
Masyarakat patut bersyukur atas pemberian sumber daya alam yang melimpah di Indonesia, tetapi sekarang masyarakat perlu untuk mulai melestarikan sumber daya alam dan memikirkan cara-cara baru lainnya untuk meningkatkan perekonomian negara. (cnbcindonesia)
Discussion about this post