KeuanganNegara.id – Dalam APBN, kerangka hubungan pendanaan antara Pemerintah Pusat dan Daerah diterjemahkan ke dalam mekanisme Transfer ke Daerah (TKD). Di era reformasi, kebijakan TKD mayoritas didominasi oleh alokasi Dana Perimbangan (Daper) yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pada beberapa provinsi tertentu, pemerintah juga mengalokasikan tambahan dana lewat skema Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua, Papua Barat dan Nangroe Aceh Darussalam serta Dana Keistimewaan (Dais) untuk Provinsi DIY.
Alokasi DBH ditujukan untuk mengurangi kesenjangan vertikal antara pusat dan daerah. Sementara DAU dan DAK diharapkan dapat mengurangi kesenjangan horizontal antar daerah. Bila DAU merupakan alokasi block grant yang penggunaannya menganut asas diskresi daerah sepenuhnya, maka DAK merupakan alokasi dana spesifik yang merujuk pada prioritas kepentingan pusat. Demikian halnya dengan Dana Otsus dan Dais yang lebih mengutamakan kepentingan daerah dibandingkan kebutuhan pusat.
Sayangnya, masih banyak hal-hal non teknis yang menghambat implementasi Daper berbasis insentif sepenuhnya. Khususnya jika dikaitkan dengan pendanaan sektor-sektor pelayanan dan infrastruktur dasar. Akibatnya muncul beberapa inisiatif dan rekomendasi usulan kebijakan yang diharapkan mampu menjembatani keinginan daerah mendapatkan penghargaan berupa skema insentif, bukan sekedar acara seremonial semata.
Dana insentif daerah
Sejak APBN 2011, pemerintah menciptakan skema pendanaan berbasis insentif berbentuk Dana Insentif Daerah (DID). Sayangnya, kebijakan DID ini tidak memiliki pengaturan secara langsung. Namun demikian, pemerintah menganggap bahwa skema DID urgent dalam meningkatkan komitmen daerah untuk terus berlomba-lomba menjalankan pelayanan dasar terbaik kepada masyarakat sebagai shareholders utamanya.
Urgensi tersebut dapat ditakar dari peningkatan alokasi DID sejak pertama kali dianggarkan sebesar Rp1,38 triliun (2011) menjadi Rp8,5 triliun (2018) nanti. Besaran ini relatif kecil jika dibandingkan alokasi DBH mencapai Rp87,7 triliun (2018) atau DAU sebesar Rp398,1 triliun (2018). Namun jika dikaitkan dengan tujuan memacu perbaikan kinerja pengelolaan keuangan serta pelayanan publik di daerah, besaran tersebut sudah memenuhi prasyarat kebijakan yang responsif dan peka terhadap kebutuhan daerah.
Di sisi indikator daerah penerima, sejak tahun 2016 hingga 2017, jumlah penerima DID meningkat dari 271 daerah menjadi 317 daerah. Jumlah daerah yang lulus passing grade minimum naik dari 109 daerah menjadi 121 daerah. Daerah penerima berdasarkan Alokasi Minimal (AM) dan Alokasi Kinerja (AK) menjadi 83 daerah sementara yang menerima berdasarkan AM saja melonjak menjadi 279 daerah. Kondisi ini mengindikasikan mentalitas kompetisi antar daerah dalam meningkatkan pelayanan dasar mulai terbentuk.
Dilihat dari sebaran alokasi DID pada 2017, mayoritas masih berkutat di Pulau Jawa sebanyak 89 daerah, Sumatera 75 daerah, Sulawesi 55 daerah, Kalimantan 45 daerah, Maluku/Papua/Papua Barat 27 daerah serta Bali/NTB/NTT sebanyak 26 daerah. Praktek tata kelola pemerintahan yang baik dapat dimulai dari mana saja tidak memerhatikan batasan administrasi. Jadi sebaran alokasi DID yang kebetulan masih mengelompok di Pulau Jawa bukanlah hal yang merisaukan, meskipun ke depannya akan menjadi lebih berdaya jika mampu memprioritaskan daerah di luar Jawa.
Di sisi formulasi, DID dialokasikan berdasarkan kriteria utama dan kriteria kinerja. Kriteria utama digunakan untuk menentukan kelayakan suatu daerah menerima DID dengan indikator: opini BPK WTP/WDP serta penetapan Perda APBD tepat waktu. Sementara kriteria kinerja digunakan menilai kinerja daerah berdasarkan variabel kinerja kesehatan fiskal dan pengelolaan keuangan daerah (50%), kinerja pelayanan publik dasar (25%) dan kinerja ekonomi kesejahteraan (25%). Kriteria menggunakan indikator kinerja ini nantinya dituangkan dalam pemeringkatan kesehatan fiskal dan pengelolaan keuangan daerah.
Pada tahun 2018, pemerintah melakukan reformasi alokasi DID yang bertujuan agar tercipta penguatan peran DID sebagai instrumen insentif dalam sistem TKD. Refomasi dimulai melalui penyederhaan dan penajaman kriteria pengalokasian DID serta dikaitkan dengan penilaian atas inovasi kreativitas yang dihasilkan masing-masing daerah. Berikutnya dilakukan penggunaan e-government dalam penyusunan perencanaan penganggarannya. Batasan penggunaan DID diperlebar, semula terbatas untuk sektor pelayanan publik dasar, nantinya dapat ditambahkan rehabilitasi serta pemeliharaan sarana dan prasarana bidang pemerintahan atau peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan daerah.
Pengelompokan indikator kinerja diperbaiki dengan mendasarkan pada aspek input, proses, output dan outcome. Aspek input diwakili oleh indikator kesehatan fiskal dan pengelolaan APBD. Sementara indikator kemudahan investasi, perencanaan daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah, sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah serta inovasi pelayanan publik menggambarkan aspek proses. Pelayanan dasar publik bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur menjadi proxy dari output. Proses perubahan yang ditimbulkan dalam indikator outcome dicerminkan oleh kesejahteraan masyarakat melalui persentase penurunan tingkat kemiskinan dan IPM.
Perubahan yang gradual dan persistent menuju arah perbaikan perlu mendapatkan apresiasi serta dukungan dari komponen anak bangsa. Jangan sampai hal-hal positif menjadi tidak berfungsi akibat perbedaan kepentingan pribadi, partai maupun kelompok. Dengan kerja bersama bangsa Indonesia mampu mewujudkan amanat konstitusi menciptakan masyarakat adil, makmur sejahtera menuju visi Indonesia Bangkit 2030!
*)Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja
Discussion about this post