KeuanganNegara.id- Nilai tukar rupiah bertengger di posisi Rp14.244 per dolarAmerika Serikat (AS) pada perdagangan pasar spot Rabu (19/8) sore. Mata uang Garuda menguat 0,17 persen dibandingkan penutupan pada Selasa (20/8) yakni Rp14.268 per dolar AS.
Sementara itu, kurs referensi Bank Indonesia (BI) Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) menempatkan rupiah di posisi Rp14.259 per dolar AS atau menguat dibanding kemarin yakni Rp14.262 per dolar AS. Pada hari ini, rupiah bergerak di rentang Rp14.230 hingga Rp14.275 per dolar AS.
Sore hari ini, sebagian besar mata uang utama Asia terpantau menguat terhadap dolar AS. Tercatat, dolar Singapura menguat 0,08 persen, peso Filipina 0,14 persen, ringgit Malaysia 0,18 persen, rupee India 0,36 persen, dan won Korea Selatan 0,47 persen.
Di sisi lain, terdapat pula mata uang yang melemah seperti baht Thailand sebesar 0,01 persen, yuan China 0,07 persen, dan yen Jepang sebesar 0,29 persen.
Pelemahan terhadap dolar AS juga terjadi pada mata uang negara maju, seperti euro sebesar 0,04 persen dan poundsterling Inggris sebesar 0,21 persen. Sementara, dolar Australia menguat 0,13 persen terhadap dolar AS.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan penguatan rupiah disebabkan karena pelaku pasar melihat potensi pelonggaran moneter bank sentral AS The Federal Reserves (The Fed) dengan menurunkan suku bunga acuannya Fed Rate.
Sebab, tanda-tanda resesi ekonomi AS telah mengemuka beberapa waktu belakangan. Hal itu terlihat dari imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor pendek yang lebih tinggi dibanding obligasi bertenor panjang. Kondisi ini umum disebut inverted yield curve.
“Di dalam seminar Jackson Hole tahunan bank sentral akhir pekan ini, Powell akan memberikan pidato yang ditunggu-tunggu.Komentarnya menjadi perhatian khusus setelah inversi minggu lalu dari kurva imbal hasil AS, yang secara luas dianggap sebagai sinyal resesi,”jelasIbrahim, Rabu (21/8).
Tak hanya di AS, pelonggaran moneter juga diramal akan dilakukan oleh bank sentral Eropa pada September mendatang. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi Eropa kemungkinan akan terpengaruh perang dagang dan cerainya Inggris dari Uni Eropa, atau disebut Brexit.
“Sebelumnya, Bundesbank mengatakan bahwa ekonomi Jerman mungkin terus menyusut selama musim panas karena produksi industri menurun. Itu berarti ekonomi terbesar zona Euro sekarang dalam resesi menyusul penurunan kuartal kedua yang dilaporkan minggu lalu,” jelas dia. (cnn)
Discussion about this post