[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id– Puluhan petani tembakau dan buruh pabrik rokok yang tergabung dalam Koalisi Tembakau menyambangi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tujuannya, menyampaikan keluhan atas kenaikan tarif cukai dan harga eceran rokok mulai awal 2020.
Koordinator Koalisi Tembakau Dita Indah Sari menilai penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) PMK No. 152/PMK.010/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau merugikan para petani dan buruh pabrik. Untuk itu, Koalisi Tembakau meminta Abdul Halim untuk mendukung mereka dan menyampaikan keluhan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani selaku Bendahara Negara.
“Kita minta Pak Halim sebagai Menteri Desa menyampaikan kepada Bu Sri Mulyani keberatan ini dan protes kita terhadap peraturan cukai yang begitu tinggi, baik langsung maupun dalam rapat kabinet, ke Pak Jokowi. Itu harapan teman-teman,” kata Dita.
Dita mengaku Koalisi Tembakau tidak menolak aturan tersebut secara keseluruhan. Mereka hanya merasa jumlah kenaikan cukai terlalu besar sehingga dapat merugikan para petani dan buruh pabrik rokok.
“Kami paham negara lagi butuh tambahan uang akibat APBN yang defisit. Tapi naiknya jangan segitu, kalau di kisaran 15 persen sampai 17 persen masih bisa ditolerir, tapi kalau sudah sampai 23 persen, 29 persen itu kebangetan,” ujarnya.
Selain itu, Indah menyambangi beberapa komisi terkait di DPR untuk melaporkan keluhan sesuai spesifikasi potensi dampak dari aturan kenaikan cukai tersebut.
“Komisi 11 kami minta agar segera disampaikan ini Ke Dirjen Bea Cukai dan Kementerian Keuangan dalam Raker (Rapat Kerja). Komisi 9 Menteri Ketenagakerjaan karena ada ancaman PHK terhadap buruh. Komisi 4 bicara soal masalah petani tembakau,” ungkapnya.
Jika langkah saat ini tak membuahkan hasil, Dita berencana akan melakukan pendekatan melalui pemerintah daerah untuk menyampaikan keluhan para petani dan buruh tembakau.
“Suara pemerintah daerah harus kencang, apalagi provinsi-provinsi yang memang hidup dari tembakau seperti NTB, Jawa Timur. Kami akan dorong juga bupati dan gubernur-gubernur untuk ngomong. Kalau tidak, PAD (Pendapatan Asli Daerah) mereka anjlok,” paparnya.
Menurut Koalisi Tembakau, kenaikan tarif cukai rokok akan berdampak memberatkan kehidupan petani tembakau, dan menimbulkan PHK Buruh-buruh rokok. Peraturan itu juga bertentangan dengan mimpi Presiden Jokowi yang ingin meningkatkan investasi.
“Industri tembakau ini kan Investasi dalam negeri, kala ini anjlok, target presiden dalam meningkatkan investasi juga jadi susah kan, karena ini investasi dalam negeri,” imbuhnya.
Petani Tembakau ‘Menjerit’
Rujiman, petani tembakau asal Temanggung mengaku selama ini pendapatannya sudah merosot akibat harga tembakau yang terjun bebas beberapa waktu terakhir.
“Dengan adanya benturan (Gerakan) anti tembakau itu, kami sebagai petani sangat dirugikan Apalagi dengan adanya cukai rokok dinaikkkan jelas membunuh petani tembakau. Tidak hanya ke pabrik, tetapi imbasnya ke petani,” kata Ruwijan.
Bahkan, semenjak ada peraturan pemerintah pembatasan tar nikotin membuat daya beli tembakau di pabrik rokok, sehingga penjualan Ruwijan turun 30 persen hingga 40 persen. Alhasil, penjualan tembakau tak terserap hingga 30 persen oleh pabrik-pabrik rokok pada masa panen terakhir.
“Itu kalau di daerah saya, penghasil tembakau tar dan nikotinnya itu tertinggi. Akhirnya kami kena dampaknya,” ungkapnya lirih.
Ruwijan yang mengaku menjual tembakaunya dengan harga Rp70 ribu per kilogram (kg) pun hanya dapat pasrah jika harga tembakau kembali turun. Pasalnya, Ruwijan mengatakan harga tersebut saja tidak memberikan untung untuk Ruwijan.
“Kita kerja bakti tok itu 70.000. Harusnya (harganya) 100.000 lebih untuk wilayah Temanggung. Karena biaya operasional di daerah saya, karena pegunungan, jadi (ongkos) banyak sekali, karena naik turun gunung itu operasionalnya mahal,” ucapnya.
Ruwijan kini hanya bisa berharap pemerintah untuk mengurungkan niatnya dalam mengurangi cukai rokok.
“Kalau saya lihat, ini terlalu berat, yang kena petani sama buruhnya. Pabrik kan sudah kaya. Kalau memang daya beli rokok itu berkurang, pabrik jelas (akan) PHK para buruh dan pembelian itu juga ikut dikurangi,” imbuhnya.
Tak hanya Ruwijan, Petani Tembakau asal Grobogan Yoyo juga senasib. Cukai belum dinaikkan, tapi Yoyo mengaku tak dapat untung dari hasil jeri payahnya menanam tembakau selama tiga bulan masa panen, dengan memasang harga Rp4.000 per kg yang menurun dari harga normal Rp 24 ribu per kg.
“Kita hampir tidak ada untung. Impas lah pak,” kata yoyo. (cnn)
Discussion about this post