[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Perintah Presiden Jokowi tentang peninjauan harga gas domestik yang mahal harus segera disikapi para pemangku kepentingan, baik kalangan birokrat, para investor hulu migas maupun pelaksana industri hilir.
Pada kenyataannya tidak bisa dipungkiri bahwa karena alasan ekonomis dan kepastian kemampuan serapan konsumen, maka produsen sakaligus investor hulu akan lebih tertarik untuk menjual gas keluar negeri dalam bentuk cair sebagai LNG, dibandingkan dijual didalam negeri sebagai bahan baku produk kimia.
Masalah klasik pada industri gas tanah air sering bersumber pada dua hal utama, yaitu harga keekonomian dan ketersediaan infrastruktur. Neraca keseimbangan keekonomian investor hulu dan industri hilir mustahil akan dicapai bila pihak pertama berusaha menjual gas sesuai keekonomian plus margin keuntungan yang tinggi, tapi dipihak kedua ingin membeli dengan harga yang rendah untuk nantinya mendapatkan margin penjualan produk jadi yang besar juga.
Ketersediaan infrastruktur gas yang memadai juga masih menjadi hambatan yang berperan pada tingginya harga gas di konsumen, pusat pusat produsen gas besar sekarang lebih banyak diderah terpencil misalnya kilang LNG Tangguh di Papua dan nantinya LNG Abadi Masela di Maluku Tenggara Barat, jauh dari market pusat berkembangnya industri misalnya Jawa dan Sumatera.
Gambaran ketidaksiapan instruktur gas bisa dilihat dari kenyataan rantai penjualan gas dalam bentuk LNG Tangguh yang diterima di terminal penerima Gas Arun Aceh dengan harga sekitar 7 dolar/mmbtu, setelah melewati berbagai moda transportasi seperti kapal laut dan truk pengangkut LNG meningkat harganya menjadi sekitar 20 dolar/mmbtu saat akan dikonsumsi oleh hotel di Jakarta dan Bandung. Berbagai usulan dan terobosan telah dilakukan, tetapi pada kenyataannya belum juga memberikan hasil optimal, dan salah satu komponen yang menghambat adalah karena masih dipertahankannya ego sektoral yang akhirnya menjadi kendala.
Integrasi misi dan KPI yang berbeda dari para pemangku kebijakan.
Sudah bukan rahasia lagi kalau setiap pemangku kebijakan mempunyai target KPI dan berlomba untuk mencapainya.
Kondisi aktual yang sering terjadi misalnya penentuan harga jual beli gas, pada beberapa rencana pengembangan petrokimia selalu mensyaratkan harga gas yang cukup rendah misalnya sekitar 3 dolar/mmbtu untuk mendukung tingkat keekonomian produk turunan gas, hal ini tentu saja akan sulit dipasok oleh investor hulu yang katakanlah untuk pengembangan lapangan lepas pantai membutuhkan keekonomian penjualan harga gas sekitar 6 dolar/mmbtu, jalan tengah negoasiasi rasanya akan sulit untuk dicapai, kecuali salah satu pihak harus merugi.
Kondisi ini sebenarnya dapat dimitigasi dengan cara misalnya memindahkan prospek keuntungan industri hilir untuk menutup berkurangnya pendapatan di sisi hulu. Meminta investor hulu untuk merugi tentunya akan sulit, karena investor telah menentukan keputusan pengembangan suatu wilayah kerja sebagai portofolio bisnis dengan asumsi keuntungan keekonomian yang akan dicapai.
Dengan demikian yang dapat dilakukan untuk menurunkan harga jual gas untuk pasokan domestik adalah dengan mengurangi pendapatan bagian Pemerintah dari hasil penjualan gas sektor hulu, dan sebagai gantinya nanti akan diperoleh keuntungan untuk Pemerintah yang berlipat dari hasil pengembangan industri hilir, misalnya untuk menghasilkan produk turunan petrokimia, yang sampai sekarang memerlukan biaya yang besar untuk import komoditi tersebut.
Diskusi untuk membuat formula harga jual beli gas sebagai fungsi harga jual produk kimia turunan sudah dilakukan dan dilaksanakan pada kontrak jual beli, tetapi masih belum menjadi tolak ukur yang menarik bagi investor hulu maupun hilir. Transparansi dan keterbukaan diperlukan untuk saling memahami dasar dasar perhitungan yang menjadi basis keekonomian semua pihak yang berkepentingan, disamping perlu didukung kesadaran dan semangat untuk mementingkan tujuan nasional dengan menghilangkan ego dan kepentingan sectoral. Seperti misalnya kepentingan yang diemban salah satu kementrian teknis untuk mendapatkan pendapatan semaksimal mungkin dari penjualan migas pada sektor hulu, tentu akan bertolak belakang dengan kepentingan kementrian teknis lainnya yang juga perlu memaksimalkan penjualan produk turunan berbasis gas dengan cara membeli bahan baku gas semurah mungkin.
Kunci penyelesaian adalah menciptakan pendapatan agregat negara yang dihasilkan dari pengembangan gas hulu sampai kehilir yang menguntungkan, tidak saja saja dari nilai tambah gas menjadi bahan produk, tetapi juga mengurangi kebutuhan import.
Foto: Infografis/Ekspor LNG Indonesia/Edward Ricardo
|
Integrasi Pembangunan Infrastruktur Gas
Pengembangan bisnis gas harus selalu dilihat sebagai sebuah kesatuan infrastruktur dari mulut sumur sampai pengguna akhir, karena ketersediaan cadangan gas tidaklah mempunyai nilai ekonomi sampai dapat disalurkan kepada market dengan harga terjangkau.
Ketersediaan infrastruktur jaringan gas nasional masih sangat terbatas, walaupun produksi gas nasional terutama dalam bentuk LNG saat ini cukup berlimpah, tetapi pasokan gas untuk beberapa lokasi industri masih sulit terpenuhi.
Pembangunan infrastruktur untuk mendukung utilisasi gas untuk industri ataupun bahan bakar pembangkit akan lebih efisien dan cepat bila dikembangkan secara integrasi lintas kementrian fungsi teknis.
Dalam hal utilisasi LNG untuk daerah terpencil misalnya, akan sangat tidak ekonomis bila misalnya PLN sebagai pembeli dan pengguna gas, harus membangun pelabuhan untuk terminal penerima, menyiapkan kapal kapal kecil distribusi LNG atau menyiapkan terminal hub LNG ditengah laut, dimana sebenarnya dukungan infrastruktur tersebut bisa dibangun oleh fungsi kementrian teknis lainnya, disesuaikan dengan rencana pengembangan daerah, dan rencana induk transportasi dan distribusi gas oleh Pertamina dan PGN. Rencana besar infrastruktur nasional perlu mensikronisasi semua aspek pendukung ekonomi, mulai jalan raya, listrik, pelabuhan, alat transportasi, juga infrastruktur untuk mendukung ketersediaan pasokan bahan bakar dan bahan baku, sehingga menjadi satu kesatuan tindak lanjut yang terencana dan terukur. (cnbcindonesia)
Discussion about this post