[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Terhitung sudah memasuki Tahun ke-7 (tujuh), pertumbuhan Indonesia bertahan di sekitar 5%. Lebih tepatnya setelah Tahun 2012, atau berakhirnya commodity booming, tingkat Pertumbuhan ekonomi negara yang memiliki jumlah populasi terbesar ke-empat di dunia ini sudah tidak pernah di atas 6 persen. Meskipun, kita tetap harus bersyukur pertumbuhan masih bertahan di tengah tekanan ekonomi global.
Selain itu, kondisi ekonomi Indonesia juga masih menghadapi tantangan Defisit Neraca Pembayaran (Balance Of Payment/BOP) yang disebabkan oleh Defisitnya Transaksi Berjalan (Current Account/CA) sejak Tahun 2012. Sementara itu, Faktor utama Defisitnya Transaksi Berjalan (dan juga Defisit Neraca Pembayaran) adalah Defisitnya Neraca Perdagangan (Trade Balance) karena Neraca Modal dan Keuangan Indonesia yang masih konsisiten Positif hingga September 2019.
Defisitnya Neraca Perdagangan Indonesia terjadi seiring kondisi ekonomi global yang menekan demand negara tujuan utama ekspor, namun di sisi lain besarnya konsumsi dalam negeri diperkirakan lebih dominan terpenuhi dengan cara impor.
Pada dasarnya, perdagangan Luar Negeri dengan cara ekspor dan impor barang merupakan sesuatu hal yang penting bagi pertumbuhan negara, khususnya bagi Perekonomiannya terbuka (Open Economy). Hal tersebut dikarenakan suatu negara tidak bisa memproduksi semuanya di dalam negeri. Terdapat constrains dalam sebuah negara, seperti sumber daya alam, manusia, teknologi serta modal. Oleh sebab itu, dirumuskan strateginya agar dapat efisien melalui pendekatan competitive advantages atau comparative advantages. Di mana keduanya, tetap yang dibutuhkan adalah Industri Manufaktur dalam negeri yang kuat.
Belajar dari sejarah ekonomi China. Dalam 40 tahun terakhir, Ekonomi China tumbuh dengan cepat dan dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi Dunia. Dimana tumpuan dari pertumbuhan ekonomi tersebut adalah Production based atau Sektor Tradable Goods (Sektor Rill), yaitu sektor penghasil barang, terdiri dari Sektor Pertanian, Sektor Pertambangan dan Penggalian, dan yang paling besar adalah Sektor Industri Manufaktur.
Sementara, Service (consumption-based) atau Sektor Non Tradable Goods (Sektor jasa) masih tidak dominan. Dengan demikian, selain dapat memenuhi sebagian besar keperluan Jumlah Penduduk yang terbesar di Dunia, kemajuan Industri Manufakur China dapat menyuplai produk atau ekspor ke berbagai negara lainnya.
Seiring dengan perubahan demografi, baik jumlah usia produktif, maupun pendidikan, tingkat kesejahteraan (welfare) dan lainnya, Struktur ekonomi China berubah dari Tradable Goods (Sektor Rill) menjadi ke Non Tradable Goods (Sektor Jasa).
Kondisi tersebut terjadi sekitar tahun 2013 dimana akibat yang paling nyata adalah turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi China. Pada tahun 2019 diperkirakan pertumbuhannya hanya sekitar 6,5%. Ke depan trennya akan terus menurun menjadi sekitar 4,5-5,5% hingga 2030.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Perubahan struktur ekonomi dari production based atau Tradable Goods (Sektor Rill) menjadi ke service/consumption-based atau Non Tradable Goods (Sektor Jasa) sudah terjadi di Indonesia sejak Tahun 2009. Khususnya Industri Manufaktur, saat ini Porsi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) secara rata-rata di bawah 20 persen dari sebelumnya sekitar 26 persen. Hal tersebut terjadi seiring dengan tingkat pertumbuhan Tradable Goods yang sejak tahun 2000 konsisten di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi nasional atau sering disebut pertumbuhan yang kurang berkualitas.
Dengan demikian, sama halnya dengan China, tren pertumbuhan Indonesia akan cenderung menurun bila tetap dibiarkan. Oleh sebab itu, bila ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cenderung stagnan, menyelesaikan Defisit Perdagangan, Defisit Neraca Berjalan, Defisit Neraca Pembayaran, dan Pengangguran, Ekonomi Indonesia harus kembali ke Struktur Ekonomi yang berbasis production based atau Tradable Goods (Sektor Rill), khususnya memperbaiki Sektor Industri Manufaktur.
Terlebih lagi, Indonesia baru akan memasuki Bonus Demografi di Tahun 2030-2045. Di mana populasi usia produktif diperkirakan akan bertambah sebanyak 30 juta orang pada tahun 2030, sehingga akan menjadi penting bagi pemerintah untuk membuka dan memastikan lahan pekerjaan bagi mereka. Apabila tidak dilakukan dari sekarang, Indonesia akan menghadapi permasalahan struktural lainnya yang sering disebut adalah jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap.
Middle income trap sendiri adalah situasi ketika suatu negara sudah mampu mencapai kelas pendapatan menengah, tapi tidak dapat naik ke kelas negara maju. Dimana puncak atau kondisi Indonesia tersebut akan terlihat pada akhir tahun Bonus Demografi, yaitu Tahun 2045. Pada tahun tersebut Indonesia akan berada di jajaran negara dengan ekonomi terbesar dengan Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar USD 7 triliun.
Terdapat beberapa faktor yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung Sektor Tradable, khususnya Industri Manufaktur dalam negeri. Pertama, Menganggarkan lebih besar untuk penelitian dan pengembangan Industri. Hal tersebut sangat diperlukan untuk pengembangan, desain dan inovasi industri dalam negeri dalam penguasaan teknologi. Selain itu, dengan terus berinovasi diharapkan juga bahwa Indonesia dapat mengekspor hasil industri manufaktur dengan produk berteknologi tinggi (high tech).
Kedua, Insentif dari pemerintah bagi pelaku dan perbankan. Insentif terkait perizinan dan Perpajakan, baik kepada pelaku industri, maupun perbankan yang pembiayaan fokus ke Industri yang berorientasi ekspor. Ketiga, Fokus kepada Industri Subsitusi Impor, khususnya keunggulan Indonesia terkait Sumber Daya Alam dan Manusia, serta sekaligus menjadi konsumen potensial (Captive Market). Sektor tersebut antara lain Industri Makanan dan Minuman, Tekstil dan pakaian, Otomotif, Kimia, dan Elektronik. Keempat, Momentum Omnibus Law, dengan fokus untuk mempercepat terkait aturan ketenagakerjaan, penyederhanaan izin, kemudahan berusaha, dan pengadaan lahan, maka peluang untuk meningkatkan Industri Manufaktur sangat besar
Kelima, Mengarahkan Perkembangan Platform E-commerce untuk kemajuan Industri Manufaktur dalam negeri. E-commerce merupakan peluang karena dapat menjadi sebagai penghubung penjual dengan pembeli di dalam negeri dan luar negeri. Namun disisi lain, kehadiran E-commerce dapat menjadi hambatan Industri dalam negeri, bila tidak ada batasan atau regulasi yang melindungi Industri dalam negeri. Untuk itu penurunan nilai ambang batas pembebasan bea masuk untuk barang impor dari 75 USD menjadi 3 USD yang sudah efektif per 1 Januari 2020, sangat perlu diapresiasi.
Kembali Struktur ekonomi yang didominasi oleh Tradable Goods (Sektor Rill), khususnya Industri Manufaktur adalah solusi permasalahan struktural yang terjadi saat ini. Dengan fokus yang dilakukan oleh Pemerintah dalam lima tahun terakhir dan akan tetap dilanjutkan ke depannya, yaitu Pembangunan Infrastruktur, kemudahan perizinan, serta terjaganya konsumsi dalam negeri, maka kebangkitan atau penguatan Industri Manufaktur Indonesia Optimistis dapat segera direalisasikan. (cnbcindonesia)
Discussion about this post