[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id -Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuding ada mafia di balik program Tol Laut. Para mafia itu membuat program gacoan Jokowi itu tidak efektif menekan disparitas harga antara Jawa dan luar Jawa melalui praktik monopoli. Tol Laut adalah konsep pengangkutan logistik kelautan yang digagas Jokowi mulai 2015, ‘ganti baru’ dari konsep sebelumnya yakni Pendulum Nusantara.
Entah responsif atau kebakaran jenggot, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) lantas menggandeng start-up Gojek untuk menangkal praktik monopoli dalam Tol Laut.
Sejauh ini kedua belah pihak masih dalam fase penjajakan sehingga belum diketahui seperti apa wujud konkret kerja sama. Apakah Gojek akan meluncurkan aplikasi Go-Container? Atau aplikasi lainnya? Inilah beberapa hal yang ditunggu kejelasannya dari rencana kemitraan Kemenhub dan Gojek.
Pemain-pemain yang saat ini menukangi aplikasi pelayaran atau kemaritiman sebagian besar founder-nya pernah bersinggungan dengan bidang ini sebelumnya. Ada yang bekerja sebagai pelaut. Ada pula yang mengelola armada. Tak sedikit juga yang menjalankan bisnis forwarding.
Jika kelak Gojek betul-betul terlibat dalam program Tol Laut dengan aplikasinya, hal ini sebuah terobosan dalam dunia pelayaran. Sependek pengetahuan penulis, belum ada satu aplikasi pun di sektor usaha ini yang dibuat oleh sebuah start-up yang kiprahnya jauh sekali dari dunia pelayaran/kemaritiman.Diberitakan oleh media, Kemenhub meminta Gojek menyederhanakan pemesanan peti kemas layaknya memesan makanan via Go-Food, salah satu layanan andalan Gojek.
Dalam pandangan instansi ini, pengguna Tol Laut adalah peritel yang memesan barang dalam volume kecil. Muatan ini kemudian dikonsolidasi ke dalam peti kemas oleh seseorang yang akhirnya memonopoli proses pengiriman barang.
“Di sini ada orang-orang yang butuh, menu ini disajikan oleh unicorn. Mereka tinggal pesan dan diantarkan,” begitu papar sang menteri. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (BKS) ingin proses pengiriman peti kemas tadi skemanya seperti Go-Food yang banyak toko di dalamnya: ada bakmi, nasi goreng dan lain-lain menjadi menunya.
Apakah semudah itu memesan peti kemas?
Atau, pertanyaannya sedikit diubah, apakah memesan peti kemas bisa dibuat mudah layaknya memesan secangkir kopi dari gerai kopi ternama?
Saya tidak mengerti dengan baik proses teknologi informasi (TI) yang berlangsung dalam sebuah aplikasi seperti Gojek yang didirikan oleh Nadiem Makariem yang saat ini dipilih Jokowi jadi Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Pendidikan Tinggi.
Tetapi, ada beberapa hal yang perlu dipikirkan dengan seksama terlebih dahulu oleh kita semua sebelum melangkah lebih jauh dengan gagasan meng-online-kan pemesanan peti kemas.
F
|
Pertama, peti kemas itu bukanlah peti besi biasa. Ada banyak ikatan yang berkelindan di dalamnya. Misalnya, peti kemas merupakan bagian tidak terpisahkan dari kapal atau transporter.
Hal lain, dalam bisnis peti kemas dikenal istilah full container load (FCL) dan less container load (LCL).
FCL adalah kondisi di mana isi sebuah peti kemas dimiliki oleh satu shipper sementara LCL merupakan kebalikannya: isi peti kemas dipunyai oleh beberapa pemilik barang. Jika Gojek ingin memperpendek mata rantai dalam pemesanan peti kemas, itu berarti aplikator ini harus berurusan langsung dengan perusahaan pelayaran.
Dan, untuk peti kemas berstatus FCL atau LCL Gojek harus bicara duduk bareng dengan pelaku usaha forwarding. Baik pelayaran dan forwarding pada derajat tertentu keduanya sudah pula menerapkan TI.
Masalahnya, sejauh ini tidak terdengar berita yang mengabarkan manajemen Gojek bertemu dengan manajemen perusahaan pelayaran, khususnya operator Tol Laut, atau dengan forwarder.
Yang terlihat aktif, bahkan cenderung hiperaktif, malah Kemenhub.
Apakah BKS nervous disentil Jokowi bahwa ada mafia di bawah hidungnya, tapi mantan Dirut Angkasa Pura 2 itu tidak ‘menciumnya’?
Bisa jadi.
|
Business to Business
Bila pemesanan peti kemas online ingin dikembangkan, sebaiknya ia bertumpu di atas pondasi business-to-business (B2B). Saya mengkhawatirkan langkah Kemenhub yang begitu bersemangat melibatkan start-up dalam urusan peti kemas akan dikunci dengan pemberian subsidi lagi. Semoga saja tidak begitu.
Kedua, bisnis pelayaran peti kemas, seperti sektor pelayaran lainnya, membutuhkan dukungan peralatan yang cukup intensif di pelabuhan agar waktu bongkar-muat efisien.
Sayangnya, peralatan ini hanya cukup tersedia di pelabuhan-pelabuhan utama. Di pelabuhan-pelabuhan di daerah terdepan, terluar, tertinggal, dan perbatasan (3TP) yang menjadi raison d’etre diluncurkannya program Tol Laut, peralatan bongkar-muatnya amat sangat terbatas.
Loh, apa hubungannya dengan Gojek?
Begini. Salah satu yang menjadi andalan aplikasi ini, dan tentu saja yang sejenis lainnya, adalah kecepatan alias speed. Itu artinya, ketika peti kemas dipesan oleh pengguna, barang dimuat ke dalamnya, kemudian dinaikkan ke atas kapal menuju pelabuhan tujuan di timur Indonesia, semuanya harus berlangsung cepat (speedy).
Karena dilakukan secara online, bisa jadi pada sisi pemesanan/order peti kemas bisa berjalan lancar hanya dalam hitungan menit, bahkan barangkali detik.
Persoalan baru muncul ketika barang sampai di pelabuhan tujuan dan akan dibongkar. Peralatan yang minim menjadikan proses bongkar memakan waktu beberapa hari, tidak jarang beberapa minggu. Apakah manajemen Gojek memikirkan kondisi ini?
Ketiga, pelayaran adalah sebuah usaha yang amat terkait dengan aktivitas perdagangan. Perdagangan berdegup kencang, maka menggeliat lincah pula jasa pelayaran. Bila tidak, akan terjadi cargo imbalance atau ketidakseimbangan muatan.
Berangkat dari Jawa kapal bermuatan penuh namun ketika pulang hanya terisi setengah. Bisa jadi tidak sampai setengah. Toko-toko yang ada di dalam aplikasi Go-Food jangan-jangan akan sepi menunya.
Semuanya kini tengah berproses. Kita mesti bersabar melihat sampai akhir proses itu. Namun, tetap perlu diingatkan: peti kemas bukan peti besi biasa. (cnbcindonesia)
Discussion about this post