[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id –“Few things terrify an American president more than a spike in fuel prices.” (Bob McNally, penasihat bidang energi Presiden George W. Bush)
Aksi balas pantun antara Iran dan Amerika Serikat (AS) kembali terjadi. Presiden AS Donald Trump dalam cuitannya di Twitter mengingatkan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khomeini untuk “menjaga mulut”, setelah dia menyebut Trump sebagai “badut.”
Perang mulut ini merupakan kelanjutan dari eskalasi konflik di Timur Tengah setelah Trump membunuh Jenderal Iran Qassem Soleimani sewaktu meninggalkan bandara Baghdad dalam undangan resmi pemerintah Irak pada Jumat (3/01/2020).
Kekhawatiran pecahnya perang teluk 2, yang bisa memicu perang dunia 3, pun terbuka. Soleimani adalah pimpinan Pasukan Quds Iran yang beroperasi lintas negara, dan populer di kawasan itu atas kesuksesannya membantu Irak mengalahkan ISIS di pertempuran darat.
AS menyebutnya sebagai teroris dalang serangan atas kepentingan AS dan sekutunya di Timur Tengah. Majalah The New Yorker menyebutnya “The Shadow Commander“. Rakyat Iran menganggapnya pemimpin kedua paling dihormati setelah Ali Khameini. Tak heran bendera merah dikibarkan di atas Masjid Jamkaran, simbol pembalasan yang pedih.
Namun sejak awal, penulis melihat peluang perang terbuka kedua negara itu sangat kecil. Dalam program Closing Bell CNBC Indonesia TV (06/01/2020), penulis menyatakan Iran pasti membalas kematian Soleimani. Hanya saja, tidak dalam skala yang cukup besar untuk memicu perang. Paling banter adalah mengurangi pengaruh AS di kawasan itu.
Alasannya sederhana. Iran tidak cukup kuat menanggung risiko perang terbuka setelah sanksi yang diberlakukan AS sejak 1979–setelah mahasiswa pendukung Rohullah Khomeini menduduki kedutaan AS di Iran dan menggulingkan rezim Shah Iran. Sejak 2014, sanksi itu dikembangkan hingga menghukum pihak ketiga yang berbisnis dengan Iran.
Tidak heran, sebelum menghujani pangkalan militer AS di Irak dengan rudal pada Rabu (08/01/2020), militer Iran memberitahukan rencana tersebut pada pemerintah Irak. Dengan demikian, ada cukup waktu bagi militer AS untuk mengantisipasi serangan, dan mengevakuasi personil militernya ke bunker.
Terlepas dari propaganda Iran soal 80 serdadu AS tewas dalam serangan itu, saya yakin Iran dengan sengaja menghindari korban jiwa di pihak AS. Bukan karena mereka digdaya, melainkan karena mereka terlalu lemah untuk membiayai perang terbuka dan menanggung dampaknya.
Alih-alih membunuh, serangan itu terlihat lebih bertujuan memberikan efek gentar (deterrent effect) bagi AS, menunjukkan bahwa teknologi rudal Iran sangat maju dengan presisi tinggi, yang bahkan tak mampu dicegah oleh sistem anti-misil milik AS, rudal Patriot.
Efek Perang Bisa Memukul Seluruh Dunia
Di pihak lain, apakah AS berkeinginan untuk perang dengan Iran? Di atas kertas, AS memiliki kekuatan jauh lebih superior dibandingkan dengan Iran. Laman militer Global Fire Power menempatkan AS di posisi wahid dunia untuk kekuatan militer, sedangkan Iran di posisi 14.
Perbandingan mesin militernya sangat timpang: AS memiliki 11.924 unit pesawat dan helikopter tempur, sedangkan Iran hanya punya 445 unit alat tempur udara. Perbandingannya 22:1. Artinya, AS memiliki 22 mesin tempur di udara untuk menghadapi satu mesin tempur Iran.
Peta kekuatan di darat juga sama. AS memiliki 47.430 kendaraan tempur, Iran hanya 8.007 unit. Perbandingannya 6:1 untuk AS. Di laut pun tak berbeda: AS memiliki lima kapal tempur untuk meladeni setiap satu kapal militer Iran.
Namun keunggulan itu tidak lantas memberi AS keleluasan untuk menyerang Iran. Ada imbas ekonomi yang akan dipikul AS, yang ongkosnya begitu berat karena-jika mengutip ekonom Universitas New York Nouril Roubini-bisa memicu resesi Negeri Adidaya tersebut.
Ekonom yang digelari Dr. Doom oleh The New Yorker ini menilai lonjakan harga minyak mentah dunia akibat perang itu akan menyengat dunia dengan memicu pelemahan ekonomi global tatkala inflasi meninggi (stagflation). Ramalan itu dia sampaikan pada 27 September 2019.
Bagi AS, inflasi adalah momok. Pelemahan daya beli akan memukul konsumsi Negeri Sam tersebut, yang pada gilirannya bisa mengempiskan ban penting dalam perekonomiannya. Konsumsi rumah tangga sejauh ini menyumbang 70% produk domestik bruto (PDB) AS.
Dalam laporan The Fed New York berjudul “Household Debt and Credit” (September 2019), nilai utang berbasis kartu kredit di AS mencapai US$ 1 triliun, melampaui level tertingginya pada 2008. Perlu dicatat, pada 2007-2008 AS mengalami krisis keuangan subprime mortgage loan.
Kenaikan itu sayangnya diikuti kenaikan tunggakan hingga ke level tertinggi dalam 4 tahun, yakni US$ 667 miliar, atau 4,8% dari total kredit rumah tangga AS. Sebanyak 63,6% (US$ 424 miliar) berstatus lampu kuning (menunggak 90 hari). Sementara itu, bunga kartu kredit menyentuh rekor tertingginya, sehingga makin memperberat beban pengangsur.
Di tengah kondisi tersebut, kecil kemungkinan Trump melancarkan perang pada Iran, yang terpojokkan oleh sanksi bertahun-tahun. Bahkan tikus terpojok pun akan menggigit untuk menyelamatkan diri. Iran tentu bakal memainkan kartu terakhirnya dengan memblokade selat Hormuz yang menjadi lalu lintas sekitar 17-21% suplai minyak dunia.
Jika ini terjadi, maka harga minyak mentah dunia bakal melesat hingga US$ 100 per barel. Dan ini akan menciptakan tekanan bagi warga AS, dan juga perekonomiannya. Mengutip kolumnis Oilprice.com Simon Watkins, tiap kenaikan harga minyak mentah dunia sebesar US$ 10 per barel akan berujung pada kenaikan BBM di AS sebesar US$0,25 per galon.
“Berdasarkan preseden historis baru-baru ini, harga minyak Brent pada US$90-US$95 berujung pada harga BBM AS di level US$3 per galon dan harga US$125-US$130 setara dengan harga BBM US$ 4 per galon,” tulisnya pada Selasa (14/01/2020).
Saat ini, harga BBM di AS berkisar US$ 2,5 per galon atau sekitar Rp 9.000 per liter. Jika harga BBM melonjak, di tengah persoalan kartu kredit konsumer di AS, resesi ekonomi pun berpeluang terjadi. Apalagi jika efek tarif tinggi, yang belum dihapus dalam kesepakatan dagang fase 1 AS-China, semakin menekan manufaktur dan perekonomian.
Dalam sejarah politik AS, lima dari tujuh kandidat presiden yang menghadapi krisis ekonomi gagal memenangkan kursi untuk periode kedua. Trump tentu tak ingin menjadi salah satunya akibat perang Iran. Kalaupun dia mau perang, setidaknya bukan tahun ini menjelang pemilihan. (cnbcindonesia)
Discussion about this post