[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Sejumlah perbankanswasta mengaku mulai membatasi penyaluran kredit berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS). Pembatasan dilakukan demi mengantisipasi risiko kredit jika nilai tukar bergerak fluktuatif.
Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk atau BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan bisnis perbankan yang banyak menyalurkan kredit dolar AS akan terancam jika nilai tukar rupiah kembali jatuh seperti 1998 silam.
“Coba batasi kredit dolar AS, ini bahaya sekali seperti pengalaman 1998 hancurnya perbankan itu karena nilai tukar rupiah dari Rp2.500 ke Rp16 ribu, rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) hampir seluruh perbankan meningkat signifikan. Kondisi itu membuat beban biaya debitur yang memiliki pinjaman dolar AS naik signifikan.” kata Jahja.
Walhasil, banyak yang tak bisa membayar kredit tepat waktu. Makanya, rasio kredit bermasalah perbankan meningkat.
“Itu membuat kredit macet total di semua bank,” jelasnya.
Sebagai informasi, BCA menyalurkan kredit sebesar Rp585,49 triliun pada kuartal III 2019. Realisasi itu naik 10,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp527,88 triliun.
Sementara, Direktur Utama PT Bank OCBC NISP Tbk Parwati Surjaudaja mengatakan penyaluran kredit dolar AS memang sudah berkurang pada tahun ini. Ia menyebut porsinya kini hanya 20 persen dari total penyaluran kredit.
“(Penyaluran kredit) memang menurun dari 24 persen menjadi 20 persen,” tutur dia.
Menurutnya, berkurangnya penyaluran kredit berdenominasi dolar AS lantaran permintaannya yang juga menurun. Dalam hal ini, jumlah kredit dolar AS juga bergantung dari pasar.
“Mungkin karena kebutuhan ya, lalu faktor risiko bisnis juga,” kata Parwati.
Informasi saja, penyaluran kredit Bank OCBC NISP secara konsolidasian hampir stagnan atau hanya naik 1,91 persen pada kuartal III 2019. Perusahaan mengucurkan kredit sebanyak Rp116,83 triliun dari sebelumnya sebesar Rp114,63 triliun. (cnn)
Discussion about this post