[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id- Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menerangkan rasio kredit macet bank (Nonperforming Loan/NPL) meningkat karena penyaluran kredit yang minim dalam beberapa waktu terakhir.
Berdasarkan data bank sentral nasional, NPL bank berada di angka 2,66 persen secara gross dan 1,8 persen secara net per September 2019. Angka tersebut menunjukkan tren peningkatan dari bulan-bulan sebelumnya.
Sementara itu, penyaluran kredit bank cuma tumbuh 7,89 persen pada September 2019. Pertumbuhan kredit juga melambat dari bulan sebelumnya sebesar 8,59 persen.
“Kalau kredit melambat, maka rasio NPL meningkat,” ujar Perry di Kompleks Gedung BI, Jakarta, Kamis (21/11).
Perry mengatakan penyaluran kredit bank minim karena korporasi selaku debitur utama tidak melakukan pengajuan pinjaman. Korporasi, katanya, lebih memilih untuk mengandalkan dana pribadi ketimbang meminjam ke sumber di luar perusahaan, seperti bank.
“Hasil survei kami sekitar 80 persen dari kebutuhan pendanaan korporasi berasal dari penghasilan sendiri, laba ditahan, dan lainnya,” katanya.
Menurut Perry, opsi ini diambil karena korporasi belum merealisasikan rencana investasi ke depan. Hal ini tercermin dari hasil survei bank sentral nasional, di mana 53 persen korporasi di dalam negeri yang disurvei menyatakan belum merencanakan kebijakan investasi mereka.
Para korporasi itu, sambung dai, masih sibuk melakukan konsolidasi keuangan. Selain itu, mereka juga masih mempertimbangkan prospek bisnis ke depan di tengah perlambatan ekonomi global, termasuk menimbang instrumen sumber dana apa yang ke depan akan diambil.
Lebih lanjut, berbagai pertimbangan itu membuat korporasi cenderung menunda aktivitas impor bahan baku untuk menunjang produksi. Sementara, hanya sekitar 47 persen yang sudah merencanakan, namun belum tentu merealisasikan.
“Pertumbuhan kredit belum meningkat karena lebih banyak didorong belum kuatnya permintaan kredit dari sisi korporasi,” imbuh Perry.
Sementara dari sisi penawaran kredit bank, ia mengklaim tidak ada masalah. Misalnya, likuiditas mencukupi, tingkat suku bunga acuan sudah diturunkan, lending standar bank mengendor, dan regulasi dari BI cukup mendukung.
Lebih lanjut ia melihat peningkatan rasio kredit bermasalah di bank sejatinya tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, rasionya masih berada di bawah aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar 5 persen secara gross.
Hanya saja, ia mengatakan berbagai upaya untuk mendorong peningkatan penyaluran kredit tetap perlu dilakukan agar aliran pembiayaan dari bank lebih ‘moncer’ pada tahun depan. “Kalau tahun depan meningkat penyaluran kredit, nanti NPL gross dan net akan turun,” tuturnya.
Untuk mendorong penyaluran kredit bank, BI mengambil beberapa kebijakan. Pertama, menurunkan tingkat suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) sebanyak 100 basis poin ke posisi 5 persen sampai November 2019.
Kedua, menambah likuiditas bank dengan menurunkan batas pencadangan kas bank di BI alias Giro Wajib Minimum (GWM) secara rata-rata (averaging) 3 persen mulai 2 Januari 2020.
GWM rupiah bagi bank umum konvensional dan bank umum syariah serta unit usaha syariah turun 50 basis poin menjadi masing-masing 5,5 persen dan 4, persen.
Ketiga, memberikan berbagai alternatif sumber likuiditas di pasar uang. Keempat, menjaga stabilitas pasar uang.Sayangnya, penurunan penyaluran kredit dalam beberapa waktu terakhir justru membuat BI mau tidak mau merevisi proyeksi pertumbuhan kredit dari semula 10 persen sampai 12 persen menjadi 8 persen pada tahun ini. Kendati begitu, Perry mengklaim pertumbuhan kredit tahun depan akan lebih tinggi.
Sementara, realisasi pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) bank hanya sebesar 7,47 persen pada September 2019 atau turun dari 7,62 persen pada bulan sebelumnya. Namun, ia masih meyakini DPK akan tumbuh di kisaran 8 persen atau titik tengah target tahun ini sebesar 7 persen sampai 9 persen pada tahun ini. (cnn)
Discussion about this post