Dengan skema penjaminan ini, pemerintah selaku penjamin melakukan pembayaran premi (imbal jasa) atas kredit yang disalurkan. Dalam hal ini, Pemerintah memberikan jaminan atas nama debitur UMKM yang memperoleh pembiayaan/kredit perbankan, melalui lembaga penjaminan kredit seperti melalui PT. Askrindo dan Perum Jamkrindo ataupun lembaga penjaminan kredit lainnya. Mekanisme perhitungan besaran premi (imbal jasa) dilakukan atas dasar realisasi dan besaran persentase tarif premi yang ditetapkan sesuai porsi penjaminan yang ditanggung oleh Pemerintah.
Melalui kebijakan skema kredit subsidi bunga, pemerintah kemudian berusaha memberikan fasilitas sehingga kegiatan usaha UMK dapat bertahan sekaligus memperoleh manfaat. Dalam hal ini, pemerintah menanggung selisih tingkat suku bunga komersiil yang berlaku untuk kegiatan usaha sejenis dan tingkat bunga yang menjadi beban UMKM. Porsi tingkat bunga bagian pemerintah besarannya ditentukan dengan memperhatikan perkembangan dan potensi kegiatan usaha yang mendapatkan fasilitas subsidi bunga.
Skema lain yang juga dimungkinkan dilakukan adalah mekanisme dana bergulir (revolving fund). Dilihat dari output akhir, dana bergulir ini mirip dengan mekanisme subsidi bunga ketika pemerintah memberikan mandat kepada pihak perbankan untuk menurunkan tingkat suku bunga sehingga mampu terjangkau oleh konsumen. Yang membedakan keduanya terletak pada persoalan dana awal yang digunakan. Pemerintah memberikan dana awal sebuah program jika skema yang dipilih adalah dana bergulir. Jika yang dipilih adalah subsidi bunga, maka pihak perbankan yang harus mengeluarkan dana awal program.
Evaluasi 2018
Ketika mengeluarkan kebijakan KUR, pemerintah tentu berharap program ini mampu dimanfaatkan untuk kegiatan yang bersifat investasi bagi pengembangan bisnis UMKM. Tak salah jika alokasi KUR setiap tahunnya terus dinaikkan. Jika di 2018 alokasinya sebesar Rp117 triliun maka di tahun 2019 dinaikkan menjadi Rp140 triliun. Dikembangkan juga perluasan bidang pemanfaatan KUR misalnya untuk sektor pariwisata yang meliputi agen perjalanan wisata, sanggar seni, penyelenggaraan Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE), penyediaan makanan dan minuman, jasa informasi pariwisata. Selain itu juga menyasar usaha pengelolaan tempat wisata, jasa konsultan pariwisata, usaha jasa pramuwisata, wisata tirta, jasa transportasi pariwisata, industri kerajinan dan oleh-oleh.
Sayangnya realisasi penyerapan KUR ternyata masih banyak nyangkut di sektor non-produktif. Menurut data yang dihimpun dari beberapa pihak, hingga November 2018 realisasi KUR produktif masih di bawah 50%. Pihak perbankan sebagai lembaga penyalur menyebutkan, rendahnya penyaluran di sektor produktif tersebut lebih disebabkan adanya faktor kehati-hatian. Mereka juga menambahkan bahwa potensi kredit macet di sektor produktif masih relatif besar.
Diantara beberapa perbankan yang menjadi penyalur KUR, untuk periode Januari hingga November 2018, Bank Perwakilan Daerah (BPD) Jawa Barat dan Banten tercatat sebagai penyalur KUR produktif terbesar hingga 87%, disusul Bank Artha Graha sebesar 70%, BPD Sumatera Barat sekitar 63% dan BRI Syariah mencapai 56%. Sayangnya deretan perbankan ini mendapatkan plafon yang tidak terlalu besar. Untuk perbankan plat merah utama, BRI tercatat menyalurkan hingga 43% dengan plafon terbesar Rp80,2 triliun, Bank Mandiri sebesar 44% dengan plafon Rp17,6 triliun dan BNI mencapai 46% dengan plafon Rp16,4 triliun. Di tahun 2020 nanti, pemerintah telah menargetkan proporsi realisasi kredit produktif mencapai 70% dari total KUR yang disalurkan. Untuk itu pemerintah juga menyiapkan sanksi bagi perbankan penyalur yang tidak memenuhi ketentuan berupa pengurangan platform KUR 5% hingga 30% dari tambahan plafon tahun anggaran berikutnya.
Terlepas dari kinerja penyaluran KUR yang masih terkendala di sektor produktif, berbagai upaya perbaikan niscaya wajib terus dilakukan ke depannya. Pengelompokan usaha produksi, penyusunan sistem monitoring dan risk assesment mungkin dapat dijadikan salah satu opsi pencapaian target proporsi 70% di tahun 2020. Keberhasilan realisasi penyaluran KUR akan menjadikan APBN sebagai instrumen yang kredibel dan terpercaya di Indonesia. Ketika nantinya APBN mampu menjaga kredibilitasnya maka disitulah masyarakat akan merasakan dampak optimal kehadiran negara secara seutuhnya.
Oleh Joko Tri Haryanto, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja
Discussion about this post