KeuanganNegara.id- Pelaku usaha teknologi finansial (fintech) pinjam meminjam uang (peer to peer/p2p lending) membuka peluang untuk menerima Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) sebagai aset yang bisa diagunkan dalam pengajuan pinjaman dana.
Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Tumbur Pardede mengatakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak mengatur soal bentuk aset yang bisa diagunkan ke perusahaan fintech p2p lending. Dengan demikian, masing-masing pelaku usaha memiliki kebebasan menentukan apa-apa saja yang harus dijaminkan oleh calon peminjam.
“Dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi tidak diatur masalah agunan, jadi dibebaskan kepada penyelenggara fintech p2p lending,” ucap Tumbur.
Kendati begitu, perusahaan fintech p2p lending harus lebih dulu mendapatkan persetujuan dari pemberi pinjaman (lender) sebelum menerapkan HaKI sebagai agunan. Ini lantaran, model bisnis dari fintech p2p lending berbeda dengan lembaga keuangan lain, khususnya bank.
“Kami penyelenggara kan sifatnya hanya mempertemukan antara lender dan borrower (peminjam). Jadi kalau lender nya tidak mau percuma,” ujar dia.
Oleh karena itu, manajemen fintech p2p lending biasanya akan memberikan sosialisasi atau menawarkan dulu kepada pemberi pinjaman. Jika mereka setuju, maka perusahaan fintech p2p lending akan menyiapkan mitigasi risiko dari agunan tersebut.
“Ini kan HaKI hal baru. Inovasi-inovasi ini bukan mustahil bagi p2p lending. Kalau lender mau, infrastruktur untuk mitigasi risiko yang menyiapkan kami (penyelenggara p2p lending),” tutur Tumbur.
Nantinya, perusahaan fintech p2p lending tak akan bekerja sendiri untuk melakukan mitigasi risiko. Tumbur menyebut perusahaan harus bekerja sama dengan lembaga independen yang memiliki sumber daya sebagai valuator guna menilai aset HaKI tersebut.
“Kami penyelenggara kan sifatnya hanya mempertemukan antara lender dan borrower (peminjam). Jadi kalau lender nya tidak mau percuma,” ujar dia.”Karena menilai itu kan bukan bidang kami, jadi harus ada lembaga sendiri juga untuk meyakinkan pemberi pinjaman,” jelasnya.
Untuk saat ini, sambung Tumbur, beberapa perusahaan fintech p2p lending membebaskan peminjamnya dari agunan. Biasanya, jumlah pinjamannya berada di bawah Rp100 juta.
Sementara, perusahaan fintech p2p lending umumnya memberikan kewajiban menyerahkan agunan untuk pinjaman di atas Rp100 juta. Peminjam bisa memberikan agunan berupa faktur (invoice).
“Jadi misalnya ada tagihan atau invoice 90 hari, nah diagunkan pas sudah 90 hari dapat pembayaran peminjam bayar ke perusahaan fintech p2p lending,” kata Tumbur.Pelaku usaha teknologi finansial (fintech) pinjam meminjam uang (peer to peer/p2p lending) membuka peluang untuk menerima Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) sebagai aset yang bisa diagunkan dalam pengajuan pinjaman dana.
Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Tumbur Pardede mengatakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak mengatur soal bentuk aset yang bisa diagunkan ke perusahaan fintech p2p lending. Dengan demikian, masing-masing pelaku usaha memiliki kebebasan menentukan apa-apa saja yang harus dijaminkan oleh calon peminjam.
“Dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi tidak diatur masalah agunan, jadi dibebaskan kepada penyelenggara fintech p2p lending,” ucap Tumbur.
Kendati begitu, perusahaan fintech p2p lending harus lebih dulu mendapatkan persetujuan dari pemberi pinjaman (lender) sebelum menerapkan HaKI sebagai agunan. Ini lantaran, model bisnis dari fintech p2p lending berbeda dengan lembaga keuangan lain, khususnya bank.
Oleh karena itu, manajemen fintech p2p lending biasanya akan memberikan sosialisasi atau menawarkan dulu kepada pemberi pinjaman. Jika mereka setuju, maka perusahaan fintech p2p lending akan menyiapkan mitigasi risiko dari agunan tersebut.
“Ini kan HaKI hal baru. Inovasi-inovasi ini bukan mustahil bagi p2p lending. Kalau lender mau, infrastruktur untuk mitigasi risiko yang menyiapkan kami (penyelenggara p2p lending),” tutur Tumbur.
Nantinya, perusahaan fintech p2p lending tak akan bekerja sendiri untuk melakukan mitigasi risiko. Tumbur menyebut perusahaan harus bekerja sama dengan lembaga independen yang memiliki sumber daya sebagai valuator guna menilai aset HaKI tersebut.
“Karena menilai itu kan bukan bidang kami, jadi harus ada lembaga sendiri juga untuk meyakinkan pemberi pinjaman,” jelasnya.
Untuk saat ini, sambung Tumbur, beberapa perusahaan fintech p2p lending membebaskan peminjamnya dari agunan. Biasanya, jumlah pinjamannya berada di bawah Rp100 juta.
Sementara, perusahaan fintech p2p lending umumnya memberikan kewajiban menyerahkan agunan untuk pinjaman di atas Rp100 juta. Peminjam bisa memberikan agunan berupa faktur (invoice).
“Jadi misalnya ada tagihan atau invoice 90 hari, nah diagunkan pas sudah 90 hari dapat pembayaran peminjam bayar ke perusahaan fintech p2p lending,” kata Tumbur. (cnn)
Discussion about this post