[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Kebijakan Keuangan Negara merupakan salah satu hal yang dibahas dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.
Dengan tambahan anggaran Rp405,1 triliun yang belum ada dalam APBN 2020, selama penanganan situasi COVID-19, disebutkan bahwa penganggaran dan pembiayaan defisit dapat melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, deviasi ini paling lama sampai Tahun Anggaran (TA) 2022. Tahun 2023, defisit akan normal kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dengan penyesuaian bertahap.
Adapun sumber anggaran yang dapat digunakan dalam penanganan COVID-19 adalah Sisa Anggaran Lebih (SAL), dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan, dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu, dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU), dan dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dalam memenuhi target pembiayaan COVID-19, pemerintah juga dapat menerbitkan SUN/SBSN dengan tujuan tertentu untuk dapat dibeli oleh BI, BUMN, investor korporasi, dan investor ritel.
Kemudian, pemerintah juga dapat memberi pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), melakukan refocussing dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), memberi hibah kepada pemerintah daerah (Pemda), serta menyederhanakan mekanisme dan simplifikasi dokumen keuangan negara.
Untuk kebijakan keuangan daerah, Pemda diberi kewenangan untuk refocussing penggunaan APBD yang diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri).
Dalam Perppu, pemerintah memberikan relaksasi perpajakan dengan penyesuaian tarif Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak (WP) Dalam Negeri (DN) Badan, dan Badan Usaha Tetap (BUT) yaitu 22% untuk tahun 2020-2021 dan 20% mulai tahun 2022.
Untuk WP DN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dengan jumlah saham diperdagangkan minimal 40%, serta memenuhi persyaratan, dapat memperoleh tarif 3% lebih rendah dengan syarat tertentu, yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Untuk pajak penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) / e-commerce, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang/jasa kena pajak dari luar daerah pabean, dipungut oleh pedagang/penyedia jasa Luar Negeri (LN), penyelenggara PMSE LN, dan penyelenggara PMSE Dalam Negeri (DN) yang ditunjuk Menkeu. Kemudian, Pajak Penghasilan (PPh) atau pajak transaksi elektronik atas PMSE dipungut oleh subjek pajak Luar Negeri (LN).
Penyedia barang/jasa LN, penyelenggara PMSE LN jika memenuhi ketentuan dapat diperlakukan sebagai BUT dan dikenai PPh dengan ketentuan yang diatur dalam PP dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Sanksi bila terdapat pelanggaran, akan dilakukan pemutusan akses, dan teguran tertulis diatur dalam PMK.
Pemerintah juga memberi perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan kewajiban pajak selama masa penanganan COVID-19 seperti pengajuan keberatan yang jatuh tempo dapat diperpanjang paling lama 6 bulan. Kemudian, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diperpanjang paling lama 1 bulan. Pelaksanaan hak wajib pajak (kelebihan pembayaran, surat keberatan, pengurangan/penghapusan sanksi) dapat diperpanjang paling lama 6 bulan. Waktu kahar pandemi mengacu pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Selain itu, Menkeu memiliki kewenangan untuk memberi fasilitas kepabeanan dengan pembebasan/keringanan Bea Masuk (BM) yang diatur PMK. (kemenkeu)
Discussion about this post