KeuanganNegara.id- Pengusaha mendesak penurunan batas minimum nilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk fasilitas pengembalian pajak (tax refund) bagi turis asing. Pasalnya, pelonggaran ketentuan pengembalian PPN yang diberikan pemerintah dinilai tak cukup ampuh mengerek minat belanja turis asing.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melonggarkan ketentuan pengembalian PPN melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Permintaan Kembali PPN Nilai Barang Bawaan Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri.
Dalam aturan yang berlaku mulai 1 Oktober 2019 itu, turis asing dapat mengumpulkan struk barang belanjaan dengan nilai belanja minimal Rp500 ribu per struk dari berbagai toko ritel, tidak harus dari tanggal yang sama. Setelah mencapai total Rp5 juta maka dapat mengajukan klaim pengembalian pajak pertambahan nilai.
Dalam aturan pendahulunya, pengembalian pajak baru akan diberikan untuk minimal nilai PPN sebesar Rp500 ribu dalam satu faktur pajak khusus dari satu toko ritel yang sama dan pada tanggal yang sama.
Wakil Ketua Umum Aprindo Tutum Rahanta mengatakan pengembalian PPN menjadi salah satu pertimbangan utama turis sebelum berbelanja. Mayoritas turis asing tersebut membeli produk-produk internasional yang notabene informasi harganya mudah didapatkan. Kondisi tersebut membuat besaran pengembalian PPN antar negara menjadi kompetitif guna menarik minat belanja turis.
“Sekarang kalau turis belanja di negara tetangga, tidak ada nilai (belanja) Rp1 juta bisa klaim tax refund. Nah, kenapa kita tidak?,” katanya, Kamis (26/9).
Ketentuan pengembalian PPN diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Saat ini, nilai fasilitas pengembalian PPN diatur paling sedikit sebesar Rp500 ribu dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah.
Artinya, jika tarif PPN adalah 10 persen dari total pembelian, maka turis asing baru bisa mendapatkan fasilitas pengembalian PPN setelah transaksi minimal Rp5 juta.
“Kami menunggu perubahan UU tidak hanya di bagian itu saja dan itu nanti ke DPR juga,” ujarnya.”Kami dengar ada kemungkinan diubah soal aturan PPN ini. Jadi, ini kesempatan boleh diajukan. Kami kira tidak ada yang hilang, justru tambah banyak turis belanja, tambah banyak yang dikembalikan, tambah banyak pendapatan barang yang dibeli,” ujarnya.
Namun demikian, ia tak memungkiri pelonggaran ketentuan pengembalian PPN itu meningkatkan animo pelaku usaha ritel untuk memanfaatkan fasilitas tersebut. Saat ini, tercatat baru 55 pengusaha ritel dengan 600 outlet telah memberikan fasilitas tax refund kepada turis asing.
“Mereka ingin mendengar, ini betul tidak akan memudahkan turis dan memudahkan proses mereka di lapangan serta administrasi mereka dengan Kementerian Keuangan,” tuturnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan perubahan batas minimum harus melalui perubahan UU melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ia sendiri mengamini pernyataan Tutum jika batasan pengembalian PPN perlu dipangkas agar bisa lebih optimal dalam mendorong sektor pariwisata dan meningkatkan kinerja sektor ritel. “Kami setuju dengan Pak Tutum di UU PPN berikutnya bisa kami turunkan karena benchmark (perbandingan) dari berbagai negara rata-rata Rp1 juta,” papar dia.
Namun demikian, ia belum dapat memastikan kapan pihaknya akan memasukkan hal tersebut dalam revisi undang-undang. Saat ini, lanjut dia, Dirjen Pajak tengah fokus mempersiapkan RUU omnibus law tentang ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian.
Sebagai informasi, DJP mencatat nilai pengembalian PPN hingga September 2019 sebesar Rp10,1 miliar. Tahun lalu, nilai pengembalian PPN tercatat Rp11,2 miliar dengan indikasi nilai belanja sebesar Rp112 miliar. (cnn)
Discussion about this post