KeuanganNegara.id- Nilai tukar rupiah tercatat di posisi Rp14.268 per dolarAmerika Serikat (AS) pada perdagangan pasar spot Selasa (20/8) sore. Rupiah melemah 0,21 persen dibandingkan penutupan pada Senin (19/8), Rp14.238 per dolar AS.
Sementara itu, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) menempatkan rupiah di posisi Rp14.262 per dolar AS atau melemah dibanding kemarin, yakni Rp14.203 per dolar AS. Hari ini, rupiah bergerak di rentang Rp14.240 per dolar AS hingga Rp14.272 per dolar AS.
Sore hari ini, sebagian besar mata uang utama Asia menguat terhadap dolar AS. Dolar Hong Kong menguat 0,01 persen, dolar Singapura 0,01 persen, peso Filipina 0,07 persen, baht Thailand 0,08 persen, yen Jepang 0,19 persen, dan won Korea Selatan 0,25 persen.
Di sisi lain, terdapat mata uang yang melemah terhadap dolar AS. Selain rupiah, pelemahan juga terjadi pada ringgit Malaysia sebesar 0,13 persen, yuan China 0,2 persen, dan rupee India sebesar 0,43 persen.
Menurutnya, pasar sangat bereaksi dengan kondisi ini sehingga kembali berbondong-bondong memasuki pasar keuangan AS. Padahal, hari ini harusnya menjadi hari keberuntungan bagi rupiah lantaran tensi perang dagang berangsur pulih.Sementara itu, mata uang negara maju seperti dolar Australia menguat 0,19 persen terhadap dolar AS. Namun, euro dan poundsterling Inggris masing-masing keok sebesar 0,03 persen dan 0,3 persen.
Kepala Riset Monex Investindo Ariston Tjendra mengatakan pelemahan rupiah hari ini disebabkan karena pelaku pasar melihat penguatan imbal hasil obligasi AS.
Hal ini terlihat dari jarak imbal hasil obligasi bertenor panjang AS yang kini sudah kian menyempit dibanding obligasi bertenor panjang. Meski memang, imbal hasil obligasi jangka panjang AS masih lebih rendah dibanding obligasi jangka panjang, atau biasa disebut inverted yield curve.
Adapun, inverted yield curve dibaca sebagai sinyal yang menandakan resesi. Sebab, ketika imbal hasil obligasi bertenor panjang lebih rendah, artinya harapan pelaku pasar mendulang untung di masa depan berkurang. Dengan kata lain, pelaku pasar kian tidak optimistis dengan ekonomi AS di jangka panjang.
Ini setelah Presiden AS Donald Trump kembali memberikan perpanjangan bagi Huawei untuk membeli komponen dan berbisnis dengan perusahaan AS. Perpanjangan ini akan berlaku 90 hari dan berakhir 19 November 2019 mendatang.
“Seharusnya, meredanya kekhawatiran pasar mengenai resesi dan menurunnya tensi perang dagang memberikan imbas positif ke rupiah. Tapi, nampaknya pasar bereaksi terhadap penguatan yield obligasi AS sehingga rupiah melemah,” jelas Ariston. (cnn)
Discussion about this post