KeuanganNegara.id– Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai sistem keuangan Indonesia akan terkena imbas dari pelemahan kurs yuan China yang disengaja (devaluasi). Dampaknya akan terasa pada pergerakan nilai tukar rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), hingga imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN).
Ia mengatakan yuan China akan memberi pengaruh karena sistem keuangan sangat bergantung pada kondisi keuangan global. Terlebih, China merupakan negara dengan skala ekonomi besar bagi perekonomian dunia.
Selain itu, Indonesia sendiri mempunyai berbagai hubungan perdagangan dan investasi dengan China. Walhasil, pergerakan nilai mata uang negara tersebut akan memberi sentimen pada perkembangan sistem keuangan Tanah Air.
“Transmisi dari pengaruh global ini suka atau tidak suka pasti akan terasa. Itu semua akan terpengaruh,” ujar Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (13/8).
“Kami juga lihat risiko yang muncul dari beberapa negara emerging (berkembang) lain, seperti Argentina, Brasil, Meksiko, Hong Kong,” ungkapnya. Dari hal ini, ia memastikan pemerintah tidak akan tinggal diam. Pemerintah, sambung ia, akan segera merumuskan kebijakan yang sekiranya perlu diambil untuk menekan dampak pelemahan yuan China. Sayangnya, bendahara negara ini belum bisa memberikan rincian terkait seberapa besar dampak devaluasi yuan China terhadap Indonesia. Sebab, ia mengaku masih butuh waktu untuk betul-betul mencermati perkembangan devaluasi yuan China dan dampaknya.
“Apakah ini dianggap sebagai awal dari suatu terjadinya persaingan dari sisicurrency (mata uang)? Kami perlu waktu untuk memahami dinamika ini, karakternya seperti apa, sehingga bisa memahami bagaimana implikasi dan risikonya,” jelasnya.
Di sisi lain, mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu juga menyatakan pemerintah turut memantau sentimen lain bagi sistem keuangan domestik. Misalnya, perkembangan tren pelonggaran kebijakan moneter dari para bank sentral di dunia.
Salah satunya, bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve. Tak ketinggalan, ia turut memantau perkembangan kebijakan proteksi perdagangan dari Presiden AS Donald Trump yang menjadi cikal bakal devaluasi yuan China.
Sayangnya, ia belum bisa membagi seperti apa proyeksi kebijakan yang sekiranya diambil pemerintah. Hanya saja, ia menekankan pemerintah akan tetap fokus membentengi ekonomi domestik dari dalam negeri sendiri.
“Misalnya untuk daya tarik investasi berasal dari kualitas infrastruktur, sumber daya manusia, termasuk tenaga kerja, apakah mereka punya skill, (dan) produktivitasnya tinggi. Kemudian, policy (kebijakan) mengenai investasi, kami lihat bagaimana investasi di Indonesia dan mungkin insentif yang sudah diberikan,” jelasnya.
Di sisi lain, ia tetap optimistis fundamental ekonomi domestik masih cukup mampu menghadapi berbagai gempuran tekanan ekonomi global. Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang masih bisa dijaga stabil di kisaran 5 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menambahkan masing-masing menteri belum selesai merangkai satu kebijakan penuh untuk membentengi perekonomian dari dampak devaluasi yuan China.
“Kami belum putus semuanya, sedang dibahas. Masih ada hal-hal yang kami bicarakan lebih lanjut, sekarang belum waktunya menjelaskan,” katanya singkat.
Beberapa waktu lalu, terjadi devaluasi yuan China yang mata uang melemah cukup dalam. Bahkan, mencapai level 7 yuan per dolar AS yang merupakan posisi terendah selama satu dekade terakhir.
Pemerintah AS menuding China sengaja melemahkan mata uangnya. Sebab, secara teori, ketika mata uang suatu negara melemah terhadap dolar AS maka harga produk negara tersebut akan menjadi relatif lebih murah di pasar internasional. Pasalnya, transaksi dilakukan menggunakan dolar AS. (cnn)
Discussion about this post