KeuanganNegara.id- Ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China selama setahun terakhir meningkat secara dramatis pada Agustus 2019.
Kini, dunia sedang mengamati apakah tarif baru yang terbit akhir pekan lalu akan membawa dua negara dengan ekonomi terbesar dunia itu ke meja perundingan, atau justru saling mengatur strategi untuk kembali memanaskan pertarungan.
Pekan lalu, Sebagian besar saham global bergerak fluktuatif di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi. Pernyataan Trump bahwa China mengajak AS untuk kembali ke meja perundingan membantu bursa saham bergerak naik. Namun saat Beijing mengkonfirmasi tak ada upaya telepon membuat pasar saham kembali bergejolak.
“Kedengarannya tidak banyak, tetapi mengingat rapuhnya pasar (saham) pada awal pekan ini, investor mungkin akan terus mengalirkan dananya ke luar,” tulis Analis Senior Oanda untuk Asia Pasifik Jeffrey Halley dalam sebuah riset yang dikutip CNN, Senin (2/9).
Dalam sebuah laporan hasil riset, Ekonom Grup ING untuk China Iris Pang juga meyakini pasar saham telah menafsirkan perkembangan baru-baru ini tak terlalu positif.
Pertama, akan sangat sulit bagi Trump untuk mundur begitu cepat. Bahkan dia juga tak yakin bahwa diskusi September ini akan bermakna.
“Bahkan jika ada (perundingan), kedua belah pihak hanya dapat menegaskan kembali ke pihak lain untuk pembicaraan lebih lanjut. Ini berarti tidak ada kemajuan,” tambah Pang.
Seperti diketahui, putaran tarif impor terbaru yang diberlakukan baik oleh AS maupun China mulai berlaku pada Minggu (1/9) lalu. Kebijakan ini dimulai setelah pada awal Agustus 2019 lalu, Washington mengumumkan akan mengenakan tarif 10 persen, kemudian menaikkannya menjadi 15 persen terhadap barang impor asal China senilai US$300 miliar.
umat (30/8) lalu, Presiden AS Donald Trump mengatakan perusahaan dengan manajemen buruk menggunakan tarif sebagai alasan atas keterpurukan bisnis mereka.Dalam perkembangannya, Beijing membalas dengan tarif 5 persen hingga 10 persen untuk barang-barang AS senilai US$75 miliar.
Langkah terbaru, Washington juga menargetkan pengenaan tarif terhadap produk-produk buatan China, seperti TV dan pakaian jadi yang dianggap bisa merugikan konsumen AS. Namun, kebijakan itu terpaksa ditunda hingga 15 Desember mendatang, agar tak memukul belanja di masa liburan.
Tarif tambahan menjadi sumber kekhawatiran atas perlambatan pertumbuhan global, dan ketakutan akan resesi yang membuntuti beberapa ekonomi utama. Investor dan eksekutif di seluruh dunia sangat membutuhkan tanda-tanda apakah AS dan China akan segera melakukan gencatan senjata.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan China menyarankan agar tarif baru dari AS harus dihapus agar negosiasi kedua belah pihak dapat bergerak maju.
“Masalah yang harus kita bahas adalah untuk membatalkan kenaikan tarif barang-barang China senilai US$550 miliar dan mencegah eskalasi lebih lanjut dari perang dagang,” kata juru bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng, Kamis (29/8) lalu. (cnn)
Discussion about this post