KeuanganNegara.id – Seiring pengajuan Rancangan APBN Perubahan (APBN-P) 2017, pemerintah memperkirakan defisit APBN akan mengalami pelebaran dari target 2,41% PDB menjadi 2,6% PDB. Hal tersebut terpaksa dilakukan mengantisipasi ketidakpastian global yang berkelanjutan, seiring dengan memanasnya isu geopolitik, over protection, rebalancing ekonomi Tiongkok serta krisis Eropa paska Brexit. Sebagai antisipasi awal, pelebaran defisit tersebut diikuti dengan penyesuaian beberapa asumsi makro dalam penyusunan APBN-P, khususnya nilai tukar Rupiah dan harga minyak mentah Indonesia (ICP). Sinyal positif justru diperlihatkan oleh asumsi pertumbuhan ekonomi 2017 yang diperkirakan sedikit melebih target yakni 5,1%.
Pelebaran defisit juga memaksa pemerintah meninjau kembali besaran anggaran dalam APBN-P 2017, khususnya dari pendapatan negara. Pemerintah melakukan penyesuaian target pendapatan negara dari Rp1.750,28 triliun dalam APBN 2017 menjadi Rp1.700,3 triliun. Kondisi ini tak lepas dari potensi shortfall penerimaan perpajakan sebesar Rp50 triliun. Sementara, dari sisi belanja negara, pemerintah justru menambah alokasi hingga Rp10 triliun menjadi Rp2.090,00 triliun dari target APBN 2017. Penambahan alokasi belanja ditujukan untuk persiapan penyelenggaraan Asian Games 2018, anggaran sertifikasi tanah sebanyak 5 juta bidang (persil) lahan, anggaran persiapan Pilkada serentak dan Pemilu 2019 sekaligus penyelesaian beberapa program prioritas nasional yang pengadaan tanahnya sudah mendesak.
Dengan pelebaran defisit menjadi 2,6% PDB, pemerintah juga memperkirakan adanya tambahan kebutuhan pembiayaan sebesar Rp37 triliun – Rp40 triliun, sehingga total defisit mencapai Rp370,17 triliun. Jika dibandingkan periode-periode sebelumnya, secara nominal total defisit mengalami kenaikan. Tahun 2013 misalnya, total defisit mencapai Rp211,67 triliun sedangkan tahun 2016 lalu total defisit mencapai Rp305,2 triliun. Namun secara riil, potensi kenaikan defisit 2017 juga diimbangi dengan peningkatan penerimaan pendapatan negara khususnya sisi perpajakan, sekaligus peningkatan alokasi belanja negara untuk tetap menjaga pertumbuhan sektor riil yang sudah mulai bekerja.
Defisit anggaran berkualitas
Dalam kacamata penulis, pola inilah yang membedakan arah pelebaran defisit APBN 2017 dengan APBN periode pemerintahan sebelumnya. Jika pelebaran defisit APBN 2017 disebabkan kenaikan belanja untuk tetap menjaga momentum pertumbuhan, pada pemerintahan sebelumnya justru lebih banyak disebabkan oleh tekanan pos belanja subsidi, khususnya subsidi BBM yang terus membengkak. Artinya, kebijakan penghapusan subsidi BBM per 1 Januari 2015 betul-betul menjadi policy legacy yang mengubah arah kebijakan APBN menuju penganggaran yang lebih berkualitas.
Lebih menarik lagi jika dianalisis ulang permasalahan defisit keseimbangan primer, karena beberapa pengamat meyakini bahwa defisit keseimbangan primer lebih krusial dibandingkan defisit APBN semata. Secara regulasi, pemerintah memiliki aturan tentang batasan maksimal kumulatif defisit APBN sebesar 3% PDB. Batasan kumulatif tersebut sebetulnya mengatur masalah defisit di level APBD. Namun biasanya kumulatif defisit APBD setiap tahunnya tidak pernah melebihi 0,5% PDB sehingga fiscal space bagi defisit APBN maksimal 2,95% PDB.
Defisit keseimbangan primer, secara teori dapat diterjemahkan sebagai besaran nilai yang menggambarkan realisasi pendapatan dikurangi realisasi belanja negara, minus pembayaran utang. Masuknya unsur pembayaran utang membuat defisit keseimbangan primer sering menjadi tolok ukur utama keberlanjutan fiskal di suatu negara. Negara yang mampu mengelola keseimbangan primer, dianggap memiliki fiscal spaceyang kuat dalam melakukan pembayaran utang, begitu pula sebaliknya. Untuk itulah keseimbangan primer selalu diupayakan untuk terus dijaga dalam kondisi surplus, meski banyak pakar justru berkeyakinan sebaliknya.
Terjadinya defisit keseimbangan primer, bukanlah hal yang merisaukan asal penambahan defisit tersebut disebabkan oleh kenaikan belanja infrastruktur yang akan memberikan dampak pertumbuhan secara luas. Dalam bahasa lugasnya, pemerintah tidak sekedar menarik utang baru untuk membayar beban utang sebelumnya.
Menilik tren sebelumnya, keseimbangan primer dalam APBN sudah mengalami defisit sejak 2012. Pada tahun 2013, defisit keseimbangan primer mencapai Rp52,78 triliun dan terus meningkat menjadi Rp122,5 triliun di tahun 2016. Menariknya, defisit keseimbangan primer di APBN 2017 justru turun menjadi Rp108,97 triliun. Secara sepintas, ini menandakan bahwa pemerintah berhasil mengurangi ketergantungan terhadap penarikan utang baru untuk menutup pembiayaan, atau secara bersamaan menggambarkan peningkatan kualitas penganggaran APBN itu sendiri.
Sebagai penutup, upaya peningkatan kualitas APBN yang sudah mulai dikerjakan, seharusnya wajib untuk terus didorong dengan kebijakan-kebijakan lainnya yang senantiasa mengutamakan aspek terciptanya efisiensi dan efektifitas penganggaran publik. Penghematan belanja yang didengung-dengungkan berulang kali, layak untuk diteruskan bahkan ditingkatkan dalam skala yang lebih luas. Begitupula penurunan belanja-belanja non produktif lainnya. Jika sudah terealisasi, penulis yakin keseluruhan kebijakan tersebut akan bermuara kepada terciptanya masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.
*)Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja
Discussion about this post