[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id -Presiden Jokowi kembali menaikkan defisit APBN 2020. Kali ini, Jokowi memperlebar defisit menjadi 6,38 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Defisit tersebut naik dari sebelumnya dalam Perpres 72 Tahun 2020 yang ditetapkan 6,34 persen terhadap PDB. Ini merupakan kenaikan defisit APBN yang keempat dalam kurun tujuh bulan ini.
Pada awal APBN 2020, defisit ditargetkan 1,76 persen dari PDB. Selanjutnya akibat pandemi virus corona, pemerintah menaikkan defisit menjadi 5,07 persen dari PDB pada April 2020 yang dituangkan dalam Perpres 54 Tahun 2020.
Pemerintah kembali menaikkan defisit APBN 2020 menjadi 6,27 persen, kemudian 6,34 persen yang dituangkan dalam Perpres 72 Tahun 2020, dan kali ini menjadi 6,38 persen dari PDB.
Jokowi menuturkan, defisit APBN akan kembali di bawah 3 persen dari PDB pada 2023. Ini sesuai dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang diterbitkan Jokowi di masa pandemi.
“Jadi nanti akan ada penyesuaian, sekarang defisitnya 6,38 (persen), nanti tahun depan akan menjadi 5 koma (persen), tahun depannya lagi 4 koma (persen), ke tahun itu akan di bawah 3 (persen) lagi,” ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/7).
Menurut dia, defisit tersebut termasuk kecil jika dibandingkan dengan negara lain. Hal ini juga disebabkan oleh situasi yang dinamis.
Namun Presiden Jokowi menjelaskan, yang terpenting saat ini bukan besaran defisitnya, melainkan anggaran yang ada di APBN tersebut bisa tepat sasaran untuk masyarakat yang terdampak pandemi virus corona.
“Kami sudah sangat prudent dan hati-hati, dan yang paling penting menurut saya bukan gedenya, tapi tepat sasaran, yang mau disasar benar,” jelasnya.
“Seperti bansos produktif tadi untuk bantuan modal kerja, asal tepat sasaran, pertama untuk membangkitkan daya beli masyarakat dan membantu modal kerjanya lagi, saya mau mutar ke seluruh kota untuk urusan ini,” tambahnya.
Sebelumnya, dalam Perpres 72/2020, pemerintah menetapkan defisit APBN 2020 menjadi 6,34 persen atau setara dengan Rp 1.039,2 triliun.
Untuk menutup defisit ini, pemerintah memerlukan pembiayaan utang hingga Rp 1.645,3 triliun, naik Rp 903,46 triliun dari awal APBN 2020 saat defisit ditetapkan 1,76 persen.
Untuk membayar pembiayaan utang tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia pun membuat kesepakatan dengan cara berbagi beban bunga utang atau burden sharing. Bahkan BI rela membeli Surat Berharga Negara (SBN) hingga Rp 397,56 triliun tanpa mendapatkan imbal hasil.
Adapun dalam Perpres 72/2020, pemerintah memproyeksikan penurunan pendapatan negara menjadi Rp 1.699,1 triliun dari sebelumnya Rp 1.760,9 triliun.
Dalam pagu pendapatan negara itu, penerimaan perpajakan diproyeksikan menurun menjadi Rp 1.404,5 triliun, dari Rp 1.462,6 triliun.
Di tengah pendapatan negara yang menurun, belanja negara naik menjadi Rp 2.738,4 triliun dari sebelumnya Rp 2.613,8 trilun, untuk menangani pandemi virus corona atau COVID-19, dan memulihkan kegiatan ekonomi.(msn)
Discussion about this post