[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Syahrul Yasin Limpo resmi menjadi Menteri Pertanian menggantikan Amran Sulaiman dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf. Dalam 100 hari pertamanya, Syahrul menyatakan akan fokus menyelesaikan masalah data pangan. Menanggapi hal tersebut
Peneliti Indef Rusli Abdullah mengapresiasi target 100 hari Menteri Sayhrul untuk membenahi data pangan. Data pangan yang valid akan menciptakan kebijakan di sektor pangan sinkron dengan kerja kementerian atau lembaga lainnya. Misalnya, Kementerian Pertanian dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Bulog. “Koordinasi tersebut penting agar gadung terkait impor beras di tahun 2018 tidak terulang. Alhasil sekarang Bulog menanggung akibatnya, gudangnya didominasi beras impor,” katanya dalam sebuah diskusi online.
Di sisi lain, BPS mencatat pada 2018, Indonesia surplus beras 2,85 juta ton. Perhitungan ini diperoleh dengan metode estimasi luas baku tanaman padi dengan Kerangka Sampling Area. Namun demikian, terkait dengan target membenahi data pangan selama 100 hari menurut Rusli perlu diperjelas kembali apa yang dimaksud pembenahan itu.
Apakah hanya menarik data pangan dalam satu direktori/one way access, agar data tidak bersearak, atau melakukan estimasi ulang seperti yang dilakukan pada komoditas padi atau beras. “Apabila ingin mengestimasi ulang, maka diperlukan waktu minimal, misalnya komoditas beras, butuh waktu lebih satu tahun,” ujarnya.
Guna mempraktikkan hal itu pemerintah dapat membentuk kelompok kerja (Pokja) untuk membenahi data pangan utama, seperti jagung, kedelai, tanaman holtikultura. Pokja itu kemudian diberi tugas untuk membenahi data seperti apa yang telah dilakukan ke komoditas padi/beras.
Selain itu, perubahan iklim menjadi tantangan berat di sektor pertanian. Perubahan itu mengganggu pola panen dan mengharuskan adanya benih-benih baru (varietas) yang tahan perubahan iklim. Kondisi ini perlu ada pengaturan dari pemerintah agar suplai pangan tidak berkurang.
Menteri Pertanian baru harus terbuka untuk berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga lain agar solusi akan perubahan iklim dan juga permasalahan lain bisa didapat dengan komprehensif. Koordinasi ini terutama dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian.
Kementerian Perdagangan sebaiknya untuk urusan distribusi dalam negeri dan ekspor/impor. Sementara, Kementerian Perindustrian fokus dalam pengembangan agroindustri dalam negeri. “Saya berharap agar gaduh antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian terkait dengan kebijakan impor beras tahun 2018 tidak terjadi,” ujarnya. (katadata)
Discussion about this post