[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Pengamat asuransi mempertanyakan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap PT Asuransi Jiwasraya. Apalagi, persoalan keuangan yang mendera perusahaan asuransi pelat merah itu telah terjadi bertahun-tahun.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan indikasi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi Jiwasraya. Hal itu diduga menjadi biang kerok defisit anggaran perusahaan.
Berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan beberapa waktu lalu, perusahaan menempatkan 22,4 persen saham sebesar Rp5,7 triliun dari aset finansial. Sebanyak 95 persen dari Rp5,7 triliun itu ditempatkan pada perusahaan dengan kinerja buruk. Sisanya pada perusahaan dengan kinerja baik.
Kemudian juga ditemukan penempatan 59,1 persen reksa dana senilai Rp14,9 triliun dari aset finansial. Sebanyak 98 persen dari Rp14,9 T itu dikelola manager investasi berkinerja buruk dan sisanya berkinerja baik.
Selain pihak internal, pengawasan juga dilakukan oleh pihak eksternal. Dalam hal ini, auditor eksternal dan unit pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).Pada Oktober 2018 lalu, perseroan meminta penundaan pembayaran klaim polis jatuh tempo produk asuransi tabungan berencana (saving plan) sebesar Rp802 miliar akibat tekanan likuiditas. Tak hanya gagal membayar klaim sejumlah nasabah yang jatuh tempo, Kejagung juga menyebut perseroan berpotensi merugikan keuangan negara Rp13,7 triliun per Agustus 2019.
Pengamat Asuransi Herris Simanjuntak menilai apabila pengawasan berjalan dengan benar, persoalan Jiwasraya seharusnya tidak bercokol selama bertahun-tahun.
Ia menerangkan suatu perusahaan memiliki tiga lapis pertahanan atas risiko. Pertama, pengawasan dari sisi pemilik. Dalam hal ini, pemilik melakukan upaya mitigasi risiko atas langkah yang diambil perusahaan.
Kedua, pengawasan dari unit manajemen risiko di bawah direksi. Jika tidak berhasil, persoalan akan di bawa masuk ke lapis ketiga, yaitu jajaran komisaris dan komite pemantau risiko.
“Regulator ada di unit pengawasan, mestinya lapisan kelima, ini yang kami pertanyakan oleh publik. Harusnya dengan struktur yang sudah sedemikian rupa pengawasannya, kenapa bisa sampai terus bermasalah,” ujar Herris.
Mengutip pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir, keuangan Jiwasraya bermasalah sejak 2006. Seharusnya, sambung Herris, begitu kerugian terdeteksi seluruh lapis pengawasan, termasuk OJK, langsung membantu mencari jalan keluar.
“(Persoalan) itu harusnya tidak bertahun-tahun. Setelah beberapa waktu, tahunan, itu harusnya ada identifikasi, analisis, ada mitigasi,” jelasnya.
Hotbonar menduga pengawasan OJK berhenti di level penyerahan laporan. Padahal, otoritas harus benar-benar mendalami laporan yang diserahkan oleh pelaku industri, tidak hanya di permukaan.Setelah borok kinerja Jiwasraya terkuak, Herris berharap pemerintah dan seluruh pihak terkait mencari solusinya.
“Intinya, masalahnya apa? Kurang dana? Kalau kurang dana ya tinggal kucuri dana, misalnya gap-nya berapa triliun, ya cari, entah masuk sumber baru, restrukturisasi internal juga,” jelasnya.
Senada, pengamat asuransi Hotbonar Sinaga juga menilai persoalan Jiwasraya seharusnya tidak akan separah sekarang apabila OJK mengawasi dengan lebih ketat.
“Istilahnya, OJK harus lebih cerewet, banyak tanya ini itu sehingga tercipta controlling condition,” ujarnya.
Hotbonar juga mengingatkan kepada masyarakat agar tidak mudah tergiur dengan imbal hasil tinggi yang ditawarkan produk saving plan.
“Investasi ya beli reksa dana atau beli unit link. Ngapain beli kayak produk JS yang janjiin imbal hasil tinggi tapi abal-abal,” jelasnya.
Sementara itu, dalam keterangan tertulis, OJK mengklaim telah menjalankan fungsi pengawasan terhadap Jiwasraya.
Koreksi itu berdasarkan hasil audit yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Akibat revisi itu, laba Jiwasraya juga ikut dikoreksi dari Rp2,4 triliun menjadi Rp428 miliar.”OJK melaksanakan fungsi pengawasan terhadap Jiwasraya sejak peralihan fungsi pengawasan dari BAPEPAM-LK pada Januari 2013,” ucap Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot dalam keterangannya.
Sekar menjelaskan keuangan Jiwasraya sebenarnya defisit defisit sebesar Rp5,2 triliun pada 2012 lalu. Kondisi tersebut terjadi bertepatan dengan masa peralihan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) menjadi OJK.
Namun, perusahaan tersebut berhasil membukukan laba Rp1,6 triliun. Keberhasilan terjadi setelah manajemen melakukan penyehatan keuangan dengan mekanisme financial reinsurance yang bersifat sementara.
Setelah proses itu, pihaknya terus meminta manajemen Jiwasraya melakukan upaya penyehatan yang berkelanjutan agar kondisi keuangan terus membaik. Namun, pada 2017, nilai cadangan Jiwasraya dikoreksi karena nilainya lebih rendah dari yang seharusnya.
Sekar menyebut pihaknya sudah mengingatkan Jiwasraya atas masalah tersebut. Peringatan salah satunya dilakukan dengan meminta Jiwasraya mengevaluasi produk asuransi tabungan rencana (saving plan) yang dirilis perusahaan pada 2013 lalu.
Dalam evaluasi tersebut OJK meminta perusahaan untuk menyesuaikan jaminan imbal hasil (guaranteed return) agar sesuai dengan kemampuan.
“Dalam hal Jiwasraya akan menghentikan seluruh produk saving plan, maka perlu memperhatikan kondisi likuiditas perusahaan,” kata Sekar.
Saat ini, pengawasan terus berjalan dengan meminta perusahaan menyampaikan rencana penyehatan keuangan (RPK) yang memuat poin-poin penanganan masalah.
RPK yang diteken direksi dan komisaris Jiwasraya serta memperoleh persetujuan pemegang saham, meminta bank mitra penjual produk saving plan berkomunikasi kepada nasabah, dan memantau penyelesaian tunggakan klaim Jiwasraya.
“OJK juga mengingatkan kepada direksi Jiwasraya dengan pemanfaatan teknologi, Jiwasraya juga harus berkoordinasi dan melaporkan ke OJK, serta pemegang saham,” jelas Sekar.(cnn)
Discussion about this post