[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id -Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) nomor 3 tahun 2021 dianggap bersifat represif oleh emiten. Aturan pengganti Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1995 ini memberikan perlindungan bagi investor ritel. Namun, emiten menilai langkah preventif jauh lebih efektif dalam memberikan perlindungan.
“Yang terbaik adalah pengawasan preventif terpadu saat emiten mengeluarkan laporan keuangan triwulanan, bila dianggap aneh, bisa langsung diminta untuk public expose,” ujar Dewan Kehormatan Asosiasi Emiten Indonesia Theo Lekatompessy saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (11/3).
Theo juga mengkritisi aturan mengenai tanggung jawab komisaris dan direksi. Pada pasal 89 disebutkan bahwa anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris bertanggung jawab atas kerugian perusahaan terbuka.
Tiga hal latar belakang kerugian yang menjadi tanggung jawab direksi dan komisaris yakni secara langsung atau tidak langsung memanfaatkan perusahaan untuk keuntungan pribadi, terlibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan perusahaan, atau secara langsung mau pun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perusahaan.
Terdapat toga hal yang dapat menjadi landasan keputusan untuk menyatakan direksi atau komisaris memenuhi ketiga hal tersebut. Antara lain keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), keputusan pengadilan, atau keputusan OJK.
“Berat bila sanksi untuk dewan komisaris disamakan dengan sanksi untuk direksi, karena tugas dan tanggung jawab juga hak dewan komisaris beda jauh,” ujar sosok yang telah menjadi komisaris di 4 perusahaan terbuka tersebut.
Theo menambahkan bahwa dewan komisaris hanya mengawasi kinerja direksi. Selain itu dewan komisaris juga hanya memberi nasehat kepada direksi yang menjalankan perusahaan.
Selain itu, perlu juga ditegaskan Theo untuk membuat petunjuk pelaksana dalam keputusan bersalah bagi direksi dan dewan komisaris. Sehingga kesalahan yang dilakukan akan menjadi jelas.
Discussion about this post